Aku sampai pada bagian yang paling menyakitkan dalam hubungan kami. Entah bagaimana menuliskannya, tapi aku telah berbuat jahat kepada orang yang sama sekali tak punya dosa padaku.
Tepat satu hari setelah ulang tahunku, pukul tujuh pagi, aku menunggu teleponnya dan sudah siap untuk melakukannya sekarang, setelah aku menolak untuk diberikan kado apapun kecuali pernikahan. Lagipula ia memang tak sempat datang karena tugas kuliah.
Sejak memasuki awal Agustus, aku sudah terus mengingatkannya untuk mendatangkan keluarganya ke rumahku, meski kuyakin takkan ada titik temu, sebab mereka menginginkan aku tinggal di Solo dan merawat anak-anaknya. Dan itu artinya hidupku, duniaku, hari-hariku direnggut paksa demi berlangsungnya kehidupan dan dunia orang lain. Katakanlah aku picik, akan kuakui.
Mama sendiri tak setuju bila aku diboyong ke sana. Aku sebenarnya paham akan kesulitan mas Anto berpijak di dua sisi, keluarganya dan aku, dan aku sadar ia tak bisa mengambil solusi secepat itu karena aku banyak menolak.
Aku mengerti ia telah banyak berusaha menyejajarkan keinginanku dengan kebutuhan anak-anaknya. Dengan segala harta yang ia miliki, ia telah membangun rumah impian yang desainnya betul-betul sesuai dengan khayalanku.
Tembok bernuansa bata merah, lantai keramik bermotif kayu, kamar mandi dengan bathup modern, hingga kamar tidur dengan dua buah spring bed nomor satu, memenuhi gurauanku saat malam pertama nanti, semua itu telah ia siapkan dengan matang. Sayang, adanya di Solo, bukan Bekasi.
Gawaiku berdering. Panggilan dari mas Anto. Aku menarik napas panjang sebelum mengangkat teleponnya. Inilah detik-detik menegangkan menjelang keputusanku.
"Halo sayangku, cintaku, mamiku, istriku, mmmuach. Lagi apa, Wuk, sayangkuu?"
"Iya, Mas. Kamu lagi apa?" kataku sambil menata hati.
Sebenarnya aku dilanda deg-degan luar biasa, tapi aku berusaha mencari celah untuk tidak berlama-lama mengobrol agar segera sampai ke poin utamanya, yaitu "putus".
"Aku lagi menyiapkan dokumen, cintakuu."
"Mas."
"Iyup, Mami."
"Kamu enggak lupa, kan, dengan deadline yang aku minta?"
"Iyup, Sayang."
"Terus, kamu juga masih ingat, kan, apa konsekuensinya kalau kamu lalai sama hal itu?"
Ia diam sebentar, lalu bicara lagi dengan tekanan melemah dan tempo melambat.
"Wuk, sayangku. Aku sudah bicarakan ini semua, Sayang. Semuanya lagi disiapkan sama kakak-kakakku."
"Tapi kamu udah melanggar janji, Mas."
"Aku ngerti, Sayang, aku ngerti."