"Nad, iki Anto telepon arep rene. Ket mau jur Rodat Radit terus (ini Anto telepon mau ke sini. Dari tadi cuma Rodat Radit terus)," ujar Mama cemas.
Mas Anto dalam perjalanan menuju ke rumah. Aku dan Mama sudah menyiapkan segala jawaban apabila ia menyinggung soal Radit. Kali ini hatiku sudah mentah, begitu pula Mama, sebab sebelumnya mas Anto menelepon dan akan membawa keluarganya untuk menjemput paksa diriku dan menikahkan kami di kampung.
Mama yang memang sudah antipati terhadap keluarga mas Anto---mungkin juga berkat kompor-kompor membara dari saudara-saudaranya laki-laki, menyuruh Dhika segera pulang dari bengkel tempatnya bekerja.
"Kita hadapi aja, dia nggak mungkin berani nekat."
Mungkin sebenarnya Mama sudah tahu apa saja yang menimpaku. Tangisan demi tangisan yang kusembunyikan pasti telah membuka hati Mama bahwa aku tak siap hidup dengan mas Anto.
Di sisi lain, Mama telah jatuh hati pada Radit, anak manja yang juga selalu menghubungi Mama untuk menceritakan perjuangannya dalam mengumpulkan pundi-pundi.
***
Mas Anto tiba. Wajahnya sungguh menakutkan. Seperti hendak mendakwaku dengan tuduhan perselingkuhan, seperti yang ia katakan bahwa ia tidak terima, di telepon. Belum pernah kulihat wajah sinis penuh kekecewaan dan emosi tertahan seperti itu.
Ia langsung mendudukkan kami, bertiga, bicara langsung pada pokok persoalan, tentang Radit. Mas Anto bilang hati-hati terhadap orang tersebut. Ia terlihat sangat tidak menyukainya.
"Bu, tolong dipertimbangkan lagi hubungan Nadya sama Radit. Saya punya feeling ndak bagus sama anak itu."
Mama menghela napas, lalu menjawab dengan lembut, " yo nek soal kuwi (ya kalau soal itu) aku nggak bisa ikut campur. Kan, Nadya sing arep njalani (mau menjalani)."
"Tapi Radit itu sudah masuk dan ngambil Nadya saat masih jadi sama aku, Bu," jawabnya tegas.
"Oh, nggak, Mas. Radit udah nunggu sampai hari ulang tahunku, baru dia masuk. Aku kan, udah nunggu kamu dan berkali-kali ngomong, ayo, Mas, jangan santai. Nyatanya apa?" belaku.
Tapi mas Anto sulit diyakinkan. Ia terus mendakwa kami hingga matahari terbenam. Aku dan Mama gelagapan. Radit tidak kulibatkan, sebab ia akan kalah bicara dengan mas Anto yang terpelajar dan sudah punya segudang pengalaman menghadapi berbagai tipe manusia.
"Pokoknya saya mau bawa Nadya ke kampung, kita nikah di sana," desak mas Anto yang sepertinya sudah putus asa.
"Yo ndak bisa. Nadya itu rumahnya di Bekasi, dan harus nikah di Bekasi, bukan di kampung atas paksaan pihak keluarga. Harus seikhlasnya Nadya. Kalo nggak ikhlas ya kita nggak bisa maksa."
Merasa upayanya tak membuahkan hasil, mas Anto lantas berdiri meninggalkan kami. Ia menemui Dhika yang berjaga-jaga di teras. Mereka lantas bicara lama sekali sambil berdiri menatap awan dan meletakkan kedua sikunya di atas pagar tembok setinggi satu setengah meter itu.