Februari 2014, aku berangkat dari Kebumen ke Solo diantar suamiku, tapi hanya sampai pintu bus dan tanpa salam, apalagi cium tangan. Tak apa, yang pasti aku akan segera bertemu Mama, Nindy, juga Glenn di sana.
Mbak Rena, adik mas Prasetyo, menikah. Dan kami tidak mungkin tidak datang. Aku pun begitu, walau sendiri---itu lebih baik---tetap harus datang. Suamiku sibuk mengurus tambak udangnya.
Setelah empat tahun, akhirnya aku kembali ke rumah Eyang lagi. Mungkin kalian bisa menebak apa yang kupikirkan. Ya. Mas Anto. Ia belum menikah. Heri bilang ia masih sayang padaku. Bahkan sampai saat ini, mas Anto masih suka menangis sendirian. Heri diam-diam selalu mengabariku.
Tak terhitung kutanya kapan ia menikah, tapi Heri malah bilang bahwa ia mau menungguku, bagaimana hatiku tak hancur, aku telah menikah dengan Radit. Jeleknya, aku selalu membandingkan keduanya dalam hatiku.
Tujuh jam lebih di perjalanan. Busnya jelek dan sempat beberapa kali mogok, namun tak ada rasa lelah karena sebagian batinku mengembara bersama kenangan yang kutinggalkan. Entah akan bersikap bagaimana bila bertemu, entah akan menyapa bagaimana bila berpapasan.
Heri siap menjemput, kapan saja. Hotel tempatnya bekerja punya banyak keringanan untuknya sebab ia chef teladan. Adik kecilku itu memang pembawaannya dewasa, penyayang, penyabar. Berbanding terbalik dengan sang bapak yang ...
Heri itu sejak kecil sangat menyayangi bulik Karsih. Kalau kami pura-pura mau menyakiti ibunya, dengan sigap ia akan menghadang dan berkata, "koe arep mateni ibukku, patenono aku sik (kamu mau membunuh ibuku, bunuh aku dulu)!" Wajah seriusnya mengundang gelak tawa.
Suara klakson dari sepeda motor yang berbelok dan berhenti di hadapanku membuat hati ini tenang. Heri. Kutubruk ia dari belakang dan sepeda motornya melaju nakal. Senyumnya selalu menggemaskan walau sudah dewasa.
Sepuluh menit kemudian aku sudah bisa mendengar suara bocah kesayangan, Glenn. Segera kupeluk dan kuciumi ia, lalu Nindy, terakhir Mama. Setahun meninggalkan mereka rasanya begitu menyiksa. Semua terpaksa kulakukan demi menyembunyikan air mata.
Aku segera mendapati bulik Karsih dan Susan yang sekarang sudah tumbuh jadi gadis cantik, tapi tetap kurus. Dan om Koko tidur dengan nyenyaknya. "
Bulik bertanya, "piye (bagaimana), Wuk, sudah isi belum?"
Kujawab ringan, "belum, Bulik, susah bikinnya."
"Jangan bilang susah," sahutnya sembari mengusap-usap lenganku.
Ah, bulikku, banyak pelajaran hidup yang sebenarnya telah kudapati darimu, contohnya dalam berkata-kata. Memang bulik Karsih hampir tak pernah mengucapkan kata-kata hampa. Semua bagai wejangan ringan tapi berguna dalam menjalani hari agar tidak serampangan.
***
"Udah ke pakde Kris belum?" tanyaku pada Nindy.
"Belum. Sekarang aja, yuk, mumpung belum telanjur ribet."
Rumah pakde Kris wajib disambangi kalau kami pulang. Selain rindu pakde, kami juga harus menjaga agar bude tak mengucapkan kata-kata yang tidak perlu.
Pakde Kris masih sama galaknya melihat kepulanganku yang sendirian. Wajahnya ketus, tak ada senyum. Bicara pun tak mau melihat wajahku. Aku cuma bisa menghela napas ketika kami datangi rumahnya, sampai akhirnya aku tak bisa menahan lagi.
Kataku, "Pakde nggak senang ya, aku pulang?"
"Senang dan tidak. Senang, kalau bisa pulang sendiri berarti sehat."
"Nggak senangnya?"
"Yo dikiro-kiro wae (ya dikira-kira saja)."
"Lho, Pakde. Aku yang mau sendiri aja, kok. Kan, suamiku lagi ngurusin tambak yang mau panen. Aku takut gagal panen lagi. Nggak ada apa-apa, kok."
"Hmm ... Yo wis (ya sudah)."