I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #31

Pelukan Terakhir

Pesta berakhir, satu persatu pergi. Jam dua belas siang giliranku melepas Mama, Nindy, dan Glenn di terminal. Aku sendiri akan naik kereta tujuan Kroya. Suamiku akan menjemput di sana.

Keretaku datangnya bersamaan dengan kereta om Hut dan bulik Tanti, sementara Sherly sudah pulang lebih dulu dikejar urusan kantor.

Demi menghindari sesuatu, aku berencana pergi ke stasiun lebih dulu, diantar Heri. Namun, sesuatu yang kutakutkan terjadi.

Bulik Tanti, tanpa memikirkan perasaanku, minta diantar pulang oleh mas Anto. Memang sudah kuduga, sebab beliau sudah menanyakan mas Anto dan mobilnya sejak semalam.

Bulik Tanti memergoki ketika aku melipir hendak pergi diam-diam. Tak ayal beliau langsung menyemprotku. Lemas sudah. Aku melirik Heri yang juga melirikku. Ia meletakkan kembali tas ransel dan juga sekardus oleh-oleh milikku.

"Gimana sih, Nad! Yo nggak enak kalau kamu naik motor! Wong enak-enak diantar pakek mobil kok malah naik motor! Bulik ya nggak enak sama Dik Anto. Udah! Tunggu sini!"

Bulik Tanti terus saja mengomel. Sakit sekali mendengar omelannya. Mama saja tak pernah mengomeliku dengan nada tinggi yang huruf konsonannya dihentak-hentakkan begitu.

"Dulu ya dulu, bukan berarti sekarang nggak ada silaturahim dong. Biasa wae (saja) nggak usah berlebihan."

Dadaku nyeri. Aku mengatur napas dan mengedipkan mata supaya tak terlalu basah. Kukatakan "iya," lalu pergi ke kamar mandi. Di sana aku menumpahkan segala kepedihan.

"Sabaro (sabarlah), Mbak," Heri mengepalkan tangan kanan lalu meninju telapak tangan kirinya. Ia memang sudah lama tak cocok dengan gaya bicara bulik Tanti yang dar der dor macam senapan angin itu.

Bulik Tanti tak akan mengerti perasaanku saat harus naik mobilnya, duduk di belakangnya, memandangi bahu dan rambutnya, berbasa-basi dengannya, dan mengingat semua yang pernah kami lewati, lalu sebisa mungkin menahan air mata.

Aku merindukannya. Semua tentangnya. Bertatap mata dari jauh saja sudah membuatku sesak, apalagi jika harus sedekat itu. Sungguh tak tertahankan. Air mataku jatuh juga. Deras, sederas aliran air Bengawan Solo ketika sedang pasang.

Bagai akan dibawa ke pejagalan, lidahku kelu manakala minibus silver melaju halus menuju stasiun Purwosari. Om Koko duduk di depan, aku duduk persis di belakang mas Anto yang memegang setir. Bulik Tanti dan om Hutomo duduk bak majikan di sebelahku.

Ya ampun, mas. Aku "K". Ingin rasanya memelukmu dari belakang. Mataku tak sedikitpun kualihkan dari bahunya. Hanya itu yang terlihat dari belakang.

Heri yang sudah menyelip lebih dulu di belakang tak henti mengusap lengan kananku. Ia tahu aku sedang melepas tangisan tanpa suara. Lebih-lebih bulik Tanti seolah tak puas dengan hanya memarahiku. Ia juga mempermalukan aku di depan mantan kekasihku.

"Ini, lho, dik Anto. Si Nadya, mosok tadi malah mau berangkat sendiri naik motor! Ya enakan naik mobil, kan."

Mas Anto tertawa dengan tempo "haha" yang lambat. Bulik Tanti sungguh keterlaluan kali ini. Bulik Karsih bahkan sampai ikut menyumbangkan air mata melihat kelakuan iparnya.

Tiba di stasiun, selesai menukar tiket aku duduk sendirian di ruang tunggu. Heri menyingkir tak jelas. Bulik Tanti dan om Hut entah ke mana, sementara om Koko terlihat merokok.

Lihat selengkapnya