Rumah besar dengan arsitektur modern itu adalah tempat tinggal Arla. Halaman yang luas dan dihiasi sebuah kolam dengan air mancur, terbentang di balik pagar-pagar besinya yang tinggi.
Keadaannya kini tampak lengang. Tak heran, Papa Arla adalah seorang dokter yang setiap hari bekerja sampai sore bahkan kadang larut malam di sebuah Rumah Sakit Bedah Swasta.
Papa Arla adalah seorang Spesialis Bedah Plastik. Papa hanya libur sehari dalam seminggu, sehingga yang ada di rumah cuma Mama Arla dan seorang Mbok Sum yang setia melayani keluarga mereka. Tanda-tanda kehidupan hanya terlihat di pos satpam yang dijaga oleh dua orang pria, Pak Subroto dan Mas Fandi.
Sebenarnya Mas Fandi bukan satpam, tetapi dia ikut membantu Mbok melakukan pekerjaan rumah sekaligus merangkap supir yang siap mengantar keluarga mereka ke mana-mana. Bila sedang tak ada kerjaan, Mas Fandi biasanya nongkrong di pos satpam menemani Pak Subroto. Sementara Pak Subroto sendiri adalah satpam kesayangan Arla. Beliau sangat berjasa bagi Arla, terutama saat kepepet begini.
"Pak Subroto ...."
Arla memanggil nama itu dengan riang karena Pak Subroto selalu membawa keberuntungan bagi Arla. Merasa ada yang memanggil-manggil namanya, Pak Subroto keluar dari pos satpam lalu melihat Arla yang berada di balik gerbang dengan wajah berseri-seri. Beliau hafal dengan mimik itu. Itu berarti satu masalah lagi.
"Kenapa nggak mencet bel, Non? Bapak nggak tahu kalau Non sudah datang."
"Gerbangnya tak usah dibuka, Pak!" cegah Arla. "Saya cuma mau titip pesan."
"Non Arla mau kabur lagi?" tanya Pak Subroto dengan tatapan penuh curiga.
"Siapa yang mau kabur?"
Kelegaan terpancar sesaat di wajah Pak Subroto sebelum Arla melanjutkan kalimatnya dengan cengengesan. "Saya belum masuk gerbang jadi belum dianggap kabur, 'kan? Hehe."
"Non Arla ...." Pak Subroto menggeram kesal.
"Kalau Mama nanya, jawab aja kayak biasa, ya, Pak. Bilang saya udah datang." Arla membujuk Pak Subroto untuk mengelabui orang rumah.
"Tapi kalau Nyonya menunggu di depan, gimana, Non?" protes Pak Subroto keberatan.
"Ngg, gimana, ya?" Arla sibuk berpikir sebentar, lalu memberi sebuah ide cemerlang. "Bilang aja kalau saya memanjat lewat jendela, Pak! Oke?"
"Pak Subroto baiiik, deh! Makasih, ya, Pak!"
Sosoknya pun menghilang dalam sekejap sebelum sempat dicegah oleh satpam paruh baya itu. Pak Subroto hanya bisa mengeluh dalam hati karena sama saja kalau dia yang bakal memikirkan alasan buat Non Arla. Biasanya dia tak sampai hati mengadukan nona mudanya itu. Jadi, suka enggak suka, dia terpaksa ikut rencana. Konspirasilah namanya.
Arla bukannya enggak sadar kalau dirinya sering merepotkan Pak Subroto. Terpaksa. Tanpa bantuan dari beliau, pasti dia bakal mati bosan terkungkung di rumah terus-terusan karena Papa sangat protektif dan membatasi kegiatannya di luar rumah. Tapi, selama enggak ketahuan, dia bisa kabur untuk refreshing sekali-kali.
Mudah-mudahan Pak Subroto mau memaafkan dan bekerjasama karena dalam seminggu ini dia bakal kabur tiap hari.
Buat penilaian final, rencananya sepulang sekolah dia akan menghabiskan waktu bersama Dhea, Jeamie dan Roverio. Setelah jalan dengan mereka, baru Arla akan memutuskan siapa yang bakal jadi pacarnya. Waktu yang terlalu singkat untuk mengenal seseorang memang, apalagi buat Arla yang belum pernah sekali pun berkencan dengan cowok. Ini pengalaman pertama baginya, Arla merasa senang sekaligus deg-degan.
Tak terasa, sepekan pun hampir berakhir. Ini hari keenam dia pulang terlambat ke rumah. Pencariannya akan seseorang ternyata menuntut pengorbanan. Waktu luang Arla yang biasanya diisi dengan buku, terpaksa tergeser oleh daftar kencannya dari mal ke mal, kafe dan taman hiburan.
Satu hal yang dipelajari Arla ... dalam arti sebuah kebersamaan tidak ada kata "gue" atau "elo", semuanya adalah tentang "kita". Dia harus memahami ketertarikan Dhea akan hal-hal yang berbau jurnalistik, Jeamie yang senang jalan-jalan dan menyukai bola, juga kongkow bareng geng Roverio di lingkungan serba high class-nya. Arla bahkan pernah menemani Roverio tiga jam ke salon! Tapi untungnya ia belum pernah menemukan gelagat-gelagat aneh yang santer dikabarkan tentang Catastrophe.
Sejujurnya, tak banyak hal dari ketiga cowok itu yang membuat dia tertarik. Arla masih bingung, siapa yang akan dia pilih. Namun, ada satu hal yang meninggalkan kesan buat Arla-- Dia dan Dhea punya banyak kesamaan. Dhea mencintai jurnalistik seperti Arla mencintai buku-bukunya. Enggak bisa dipungkiri kalau Arla merasa lebih nyaman dengan cowok yang sejenis dengannya. But, just cool ... masih ada waktu sehari buat berpikir sebelum hari H.
ZzZzZz.
"Karena ku selow, sungguh selow, sangat selow, tetap selow. Santai, santai, jodoh gak akan ke mana."
Arla bersenandung sambil matanya terus menekuni halaman buku yang sedang ia baca. Arla memang punya kebiasaan yang aneh, dia senang menyanyi selagi belajar (kecuali di sekolah pasti). Walaupun sedang konsentrasi-konsentrasinya dengan apa yang ia baca, suaranya tetap bagus.
Arla memang dikaruniai begitu banyak bakat dan kelebihan sejak dia lahir. Tapi kalau dipikir-pikir, apa asyiknya cantik, pintar, dan berbakat kalau tiap hari dipingit di rumah?
"Arlaaa."
Sosok Mama muncul di kamarnya. Nyokap tersayangnya yang selalu cantik dan modis setiap saat. Enggak heran kalau Papa selalu betah menghabiskan waktu luang di rumah. Mamalah alasan Papa untuk pulang cepat setiap selesai bekerja. Selain itu, Mama Arla jago sekali masak. Komplet, deh. Keluarganya memang sempurna.
"Udah jam sembilan masih di tempat tidur?" tegur Mama.