Apa sebenarnya yang kita cari di dunia ini?
Sebagian besar orang pasti akan menjawab kebahagiaan.
Lalu kebahagiaan itu apa?
Memiliki harta berlimpah, mendapatkan semua yang diinginkan, menjadi terkenal, tercapainya cita-cita, menikah dengan orang yang dicintai dan mempunyai anak yang banyak.
Ya... itu adalah arti kebahagiaan bagi sebagian besar orang di dunia ini.
Tapi bagiku, kebahagiaan itu adalah ketika aku sendiri.
Namaku Kurnia, umurku tidak lagi muda. Beberapa bulan lagi aku akan merayakan ulang tahunku yang ke-38.
Di usiaku yang sudah segitu, aku masih sendiri, aku belum menikah. Lalu apa aku merasa sedih? Apa aku merasa tidak bahagia? Tidak, aku sangat bahagia, sangat bahagia dengan kesendirianku. Itulah arti kebahagiaan bagiku. Terdengar konyol bukan? Ya memang gila.
Orang-orang di sekitarku menyebutku perawan tua. Kedengaran sangat menyakitkan di telinga tapi kenyataannya memang begitu, jadi aku tidak punya alasan untuk marah. Hanya rasanya ingin menyumpal mulut mereka dengan api yang membara. Baiklah, sekarang aku terdengar seperti perawan tua yang kejam.
Aku lahir dari keluarga sederhana, anak terakhir dari lima bersaudara dan semua saudaraku sudah berkeluarga.
Aku tinggal berdua dengan ibuku yang sudah tua, usianya sekitar 70 tahunan tapi masih terlihat sehat. Sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku masih SMA.
Untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari, aku membuka warung kecil-kecilan di depan rumahku. Dan kadang-kadang beberapa saudaraku yang hidup berkecukupan mengirimi kami uang untuk membantu perekonomian kami.
Pagi itu, seperti biasa aku membuka warungku dan langsung diserbu oleh ibu-ibu karena aku juga menjual sayur-mayur yang subuh tadi aku beli di pasar.
Sebenarnya sebagian besar dari mereka lebih muda dariku, tapi karena mereka sudah menikah, maka aku menyebutnya ibu-ibu.
Itulah enaknya kalau belum menikah, kita tidak akan pernah di sebut ibu-ibu, jadi kita akan merasa selalu muda. Paling banter kita akan disebut tante-tante atau tante-tante perawan tua, lebih menyakitkan bukan?
Dan seperti biasanya kalau ibu-ibu sudah berkumpul kurang lengkap rasanya kalau tidak bergosip. Ibarat makan bakso kurang lengkap tanpa sambal.
“Jeng jeng jeng, denger-denger anaknya Bu Yanti itu hamil duluan lo?” Ibu A memulai percakapan.
“Masak sih, diakan masih sekolah,” kata ibu B dengan ekspresi seolah-olah tidak percaya.
“Aku juga denger begitu, gak sangka gayanya orang tuanya alim tapi anaknya seperti itu,” kata ibu C bersungut-sungut.
“Katanya bulan depan mereka akan menggelar acara pernikahannya,” tambah Ibu A lagi.
DEG aku mohon aku mohon kataku dalam hati. Aku mohon jangan bicara pernikahan. Karena aku tau benar ketika ada kata-kata “pernikahan”, maka aku lagi yang akan kena.
“Lah mending hamil duluan,” tiba-tiba ibu D nyeletuk. “Dari pada gak nikah-nikah sampai tua.”
JLEB sudah kuduga batinku. Seketika ibu-ibu itu melihatku dan mereka saling cubit-mencubit serta memberi kode. Entah apa maksud dari kode-kodean tersebut tapi aku merasa sangat... MURKA.
PLAK PLAK PLAK aku menampar si ibu A, DOR DOR DOR aku menembak si ibu B, ZIIINGGG... suara gergaji memotong-motong tubuh ibu C dan BUUMM suara bom yang pernah meluluh- lantakkan Nagasaki dan Hirosima membuat tubuh ibu D hancur berkeping-keping. Tapi itu hanya ada di imajinasiku, pada kenyataannya aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Ya sudah Kur dihitung.”
Mereka pun berlalu setelah menambah daftar panjang bon mereka dan aku kembali dengan pekerjaanku. Aku sibuk merapikan barang-barang belanjaanku yang tadi aku beli di pasar.
“Ini berapa Mbak?” tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki memanggilku. Aku pun menghentikan pekerjaanku, menoleh ke asal suara dan JREENG aku melihat laki-laki yang tidak tampan berdiri di sana dengan senyum yang tidak mempesona.