Siang itu seperti biasa aku sedang menjaga warungku sambil mengepak gula ke dalam plastik kiloan ketika sebuah motor matic keluaran Yamaha tahun 2005 yang sudah usang memasuki halaman rumahku. Seorang wanita muda berparas manis menghampiriku.
“Sendirian Tri?” tanyaku pada keponakanku itu.
“Iya Bik,” jawab Astri duduk di kursi plastik yang ada di warungku. “Mbah mana?” tanyanya lagi.
“Ada di dalam, sedang makan kayaknya. Masuk sana, makan sama Mbahmu. Tadi Bibik masak opor.”
“Wah enak itu,” jawab Astri.
“Ya sudah sana makan,” kataku lagi.
“Nanti aja Bik, masih kenyang,” tolak Astri.
Kami pun mulai mengobrol sana sini sambil Astri membantuku mengepak gula, kemudian aku bertanya padanya, “katanya kamu mau dilamar Adam?”
“Ia Bik.”
“Bukannya kamu mau kuliah ya?” tanyaku lagi.
“Masih tetap kuliah kok Bik. Kata Kak Adam setelah kami menikah, aku boleh kuliah.”
Gak mungkin batinku, kuliah setelah menikah itu benar-benar omong kosong. Setelah menikah orang akan disibukkan dengan urusan rumah tangga, belum lagi perekonomian yang semakin hari semakin sulit begini. Iya kalau kita berasal dari keluarga yang kaya sih gak masalah, mau kuliah setelah menikah pun gak apa-apa karena uang akan mengalir dengan derasnya begitu mudah.
Masalahnya kami bukanlah dari kalangan orang kaya, lagi pula setauku Adam juga belum punya pekerjaan tetap. Kerjanya cuma kular-kilir gak menentu dan masih menggantungkan hidupnya pada orang tuanya. Jadi mana mungkin dia bisa membiayai kuliah Astri setelah menikah. Itu kan cuma akal-akalannya sih Adam saja agar Astri mau menerima lamarannya. Aku yakin setelah menikah nanti, hidup mereka pasti akan kacau.
Mungkin kalian akan bilang aku sok tau padahal aku tidak pernah megalaminya. Tapi aku mengatakan hal ini berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Fakta yang aku saksikan sendiri dengan mata kepalaku. Kisah teman-teman kuliahku yang menikah ketika mereka masih kuliah dan berakhir dengan drop out atau gak berakhir dengan perceraian jika mereka ngotot mempertahankan kuliah mereka.
Ya benar, jelek-jelek begini aku juga pernah kuliah. Aku lulusan S1 jurusan kependidikan. Dan aku juga pernah merasakan menjadi seorang guru walaupun cuma sebentar. Aku hanya bisa bertahan selama tiga bulan mengajar di SMP yang ada di wilayah tempat tinggalku. Dan aku tidak sanggup lagi setelahnya.
Entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman berada di kantor. Apalagi para ibu-ibu guru yang ada di kantor saling membicarakan satu dengan yang lain yang membuatku merasa risih hingga aku memutuskan untuk keluar dan membuka warung kecil-kecilan.
“Maaf ya Bik, aku nikah duluan,” kata Astri tiba-tiba yang membuatku sedikit tekejut.
Sumpah kenapa harus ngomong begitu sih batinku. Gak anaknya gak ibunya sama saja. Memangnya kenapa kalau dia duluan, gak masalah buatku. Lagi pula aku tidak peduli dengan masalah pernikahan. Aku tidak merasa sakit sama sekali sumpah. Sumpah pocong deh.
“Ya gak pa-pa,” kataku. “Aku juga senang kok kalau kamu akan menikah.”
“Sebenarnya aku ke sini mau minta Bibik nemani aku ke tukang rias, buat pesan tenda dan lain-lain,” kata Astri.
“Oh ya sudah, mau ke mana? Aku temani.”
“Tapi Bibik masih sibuk begini,” kata Astri merasa tidak enak.
“Ya gak pa-pa,” kataku beranjak dari tempat dudukku, “aku siap- siap dulu.”