Kalian tau, apa momok yang paling menakutkan bagi perawan tua? Acara keluarga.
Ya hari ini Astri menikah. Aku tidak tau dari mana akhirnya mereka mendapatkan biaya tapi pada akhirnya pernikahan dapat dilaksanakan sesuai rencana. Bisa jadi Adam menambah uang maharnya atau mereka mendapat pinjaman dari seseorang. Entahlah, aku tidak berani bertanya.
Acara yang diadakan pun cukup meriah. Iringan musik organ tunggal menambah semaraknya pesta. Astri pun tetap memakai jasa Donna, dan mengambil paket yang kami lihat waktu itu.
Semua kerabat kami datang menghadiri. Bahkan kakak perempuanku Ratna yang merupakan anak kedua di keluargaku, bela-belain pulang dari Medan bersama suaminya Martin untuk melihat keponakannya menikah.
Rame sangat rame hingga membuat kepalaku pusing. Pusing karena setiap orang yang kutemui selalu bertanya kapan nikah? Kapan kawin? Kapan nyusul? Kapan mati?
Dan yang lebih parah lagi, tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang menghampiriku, mengelus-ngelus punggunggku dan berkata, “Yang sabar ya Nduk,”
“APA MAKSUDNYAAAAA...!” teriakku dalam hati.
Aku capek, capek, sepertinya aku butuh menambah energi. Aku pun mengambil sebuah piring dan ikut memperpanjang barisan seperti seorang narapidana yang antri mengambil makanan.
Setelah kurang lebih lima menit, tibalah giliranku. Aku tidak mengambil menu yng macam-macam, aku cuma mengambil nasi dan rendang lalu pergi menuju ke sebuah meja yang tersembunyi.
Seorang wanita datang dan duduk di sebelahku.
“Sudah makan Sin?” tanyaku pada temanku itu yang bernama Sinta.
“Sudah,” jawab Sinta.
Dia pun memandangku untuk sejenak kemudian dia berkata, “Enak ya kalau belum nikah, gak ada keriputnya.”
“Bukannya enak kalau sudah nikah ya? Ada temannya,” jawabku.
“Hah,” desah Sinta menghempaskan kepalanya di meja. “Enak apanya sengsara ia.”
“Gak boleh ngomong begitulah,” kataku.
“Kenyataannya memang begitu kok,” desah Sinta lagi. “Kalau tau begini, mending dulu aku gak nikah saja.”
“Memangnya kenapa?” tanyaku lagi.
“Entahlah, susah pokoknya.”
Sebenarnya aku tau apa yang di hadapi temanku itu, apa lagi kalau bukan masalah ekonomi. Suaminya yang hanya bekerja serabutan benar-benar tidak cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari sedangkan dia hanya menjadi ibu rumah tangga karena punya anak yang masih kecil.
“Sayang sekali si Astri,” kata Sinta kemudian. “Masih muda begitu kok sudah menikah. Aku saja yang menikah sudah cukup umur, hidupnya susah begini.”
“Ya semoga saja, hidup Astri dan suaminya baik-baik saja setelah menikah,” kataku.
“Mustahil,” kata Sinta yakin, “seperti gak tau Adam saja.”
Aku memandang kedua mempelai, terpancar wajah Astri yang sedang berbahagia begitu pun dengan Adam. Mereka sibuk menyalami para tamu yang datang silih berganti. Semoga hidup mereka baik-baik saja kedepannya.
***
Hari pun menjelang malam, tamu-tamu yang datang sudah tidak ada. Setelah membantu beres-beres di acara tersebut, aku pun pulang ke rumah beserta Ratna dan suaminya dengan mengendarai motor bonceng tiga. Sedangkan ibuku sudah pulang duluan sejak tadi siang karena kecapean.