“Aku kalah dalam hal membuatmu nyaman.”
Masukin!” bentak seorang cewek yang terkenal paling galak seantero SMA Garuda. Cewek berambut hitam panjang yang dikucir kuda itu berkacak pinggang menatap tiga cowok di hadapannya dengan jengkel. Pasalnya, tiga cowok itu selalu saja berbuat ulah. Susah diatur dan menghabiskan kesabaran yang ia miliki.
Cewek itu Vanessa Liliana—sapaannya Nessa. Ketua OSIS yang selalu ingin tampil sempurna dalam membawa teman-temannya di SMA Garuda ke arah lebih baik. Disiplin, tanggung jawab, dan tegas adalah sikap yang ia ambil untuk mewujudkan visi misi yang pernah ia deklarasikan saat kampanye. Jabatan ketua OSIS yang ia emban, membuatnya diberi kewenangan untuk membantu mengatur murid SMA Garuda.
Mendapatkan teguran dan tatapan tidak bersahabat dari Nessa, tidak membuat Restu, siswa SMA Garuda yang terkenal susah diatur, merasa bersalah. Cowok itu masih sempat cengengesan, menunjukkan deretan giginya yang rapi. Bahkan, ia juga mengedipkan sebelah mata menggoda Nessa. Tawanya meledak kala melihat ekspresi marah semakin jelas di wajah cewek garang di hadapannya. Restu merasa puas akan pencapaiannya, membuat Nessa jengkel karena tingkah menyebalkannya.
“Iya, Sayang. Lihatin apa, sih? Kok, dongak gitu? Ops! Kamu, kan, kayak kurcaci. Ya walaupun kayak kurcaci, di mata aku kamu tetep lucu plus gemesin,” ledek Restu. Restu sering menggunakan kata ganti “kurcaci” untuk meledek tinggi badan Nessa yang menurutnya mirip kurcaci alias pendek. Sebenarnya, tinggi Nessa tidak layak mendapat panggilan itu. Tingginya 160 cm, untuk ukuran cewek Indonesia masuk kategori standar. Namun, untuk ukuran Restu yang tingginya 178 cm, Nessa memang tampak pendek.
Inilah senjata bagi Restu. Hanya tinggi badan yang bisa ia banggakan di hadapan Nessa—pacar galaknya yang menjabat sebagai ketua OSIS paling disegani. Karena hanya tinggi badannya yang unggul dari Nessa. Dari segi prestasi, Restu jelas kalah jauh.
“Pendek-pendek gitu juga pacar lo kali,” celetuk Adham, teman Restu yang tengah melipat tangan di dada menatap Nessa.
“Yoi. Pendek-pendek gini ngangenin tahu. Gemesin juga kalau lagi marah. Udah gitu bisa buat uji nyali kalau lagi PMS,” ujar Restu seraya melangkah mendekati Nessa.
“Berhenti di situ! Masukin bajunya, terus dasinya juga dipake. Rapiin dulu penampilan kamu. Risi lihat cowok berantakan, bikin nggak nyaman,” semprot Nessa kepada kekasih bandelnya yang berpenampilan jauh dari kata rapi. Lihat saja, rambutnya acak-acakan, agak lepek karena keringat, seragam yang tidak dikancing dan keluar dari celana. Belum lagi dasi yang harusnya menggantung di leher, justru diikatkan di kepala bak pendekar. Nessa tahu, Restu baru saja selesai bermain futsal di siang hari yang panas. Kebiasaan cowok, istirahat sering main futsal.
“Res, hari ini lo udah enam kali kena marah ibu negara. Dham! Sebutin!” pinta Wisnu si cowok berkacamata minus.
“Satu, terlambat. Dua, buang sampah sembarangan. Tiga, nge-chat melulu. Empat, bolos pelajaran Sejarah. Lima, seragam nggak dimasukin. Enam, dasinya nggak dipakai,” sahut Adham dengan lancar.
“Kurang kerjaan banget lo, pakai dihitungin segala,” cibir Restu, lalu memukul kepala dua temannya secara bergantian.
“Restu! Udah berapa kali aku bilang? Tangannya jangan gampang mukul. Kebiasaan banget. Susah banget diomongin, sih?” ujar Nessa kesal.
Begitulah jika Nessa bersama Restu, selalu berisi omelan untuk menegur sikap Restu yang menurutnya salah. Ada saja sikap Restu yang menjadi bahan teguran Nessa.
“Susah mana sama perjuangan aku dapatin kamu dulu, hm? Kamu ingat gimana aku ngeyakinin kamu dengan modal nekat dan nggak tahu malu? Dua puluh tiga kali kamu nolak aku. Tapi, aku nggak nyerah, kan?”
Nessa hanya memutar bola matanya karena jengah. Inilah ciri khas Restu yang selalu saja mengalihkan pembicaraan.
“Restu, aku udah capek ngomong sama kamu,” desah Nessa.
Restu melangkah mendekati Nessa. Telapak tangannya menepuk dada kirinya beberapa kali.
“Gue siap jadi sandaran kalau kamu capek. Mau sandaran?” tawar Restu lembut. Restu memang selalu berbicara lembut jika dengan Nessa. Berbeda dengan Nessa kepadanya yang selalu membentak.
“Restu Sayang, bajunya dikancing dulu. Terus seragamnya masukin ke celana biar rapi. Itu dasi bukan ikat kepala. Pakai yang bener bisa, kan?” Nessa mengeluarkan jurus andalannya. Panggilan sayang darinya adalah senjata ampuh untuk membuat Restu tunduk.
“Oke,” sahut Restu begitu seraya mengusap puncak kepala Nessa.
Nessa tersenyum saat Restu bergerak cepat memasang kancing seragamnya.
“Kalian kancing seragamnya! Jangan lupa masukin seragam ke celana. Itu dasinya jangan buat ikat kepala. Kalian harus disiplin. Nurut sama pacarnya ketua OSIS!” ujar Restu kepada dua temannya.
Nessa terkekeh pelan melihat cara Restu mengatur dua temannya.
“Sini dasinya aku bantu pakein,” ujar Nessa seraya mengambil dasi di tangan Restu.
“Makasih untuk kesekian kalinya,” bisik Restu, lalu membungkuk agar Nessa mudah memakaikan dasi di sela kerah seragamnya.
“Dham! Mau kayak gitu juga, dipakein,” celetuk Wisnu seraya menyodorkan dasi ke arah Adham.
“Sini gue cekik pakai dasi, biar populasi jomlo ngenes kayak lo berkurang,” sahut Adham.
“Besok-besok lagi kalau berpakaian yang rapi. Aturan harus dipatuhi. Nggak harus aku ngomel-ngomel dulu, kan? Kamu cakep kalau rapi, enak dilihat juga. Berantakan malah bikin kamu jelek,” pesan Nessa seraya menata rambut kekasihnya yang berantakan dengan jari.
“Kadang aku kayak gini itu bukan kemauan aku. Aku cuma lagi cari perhatian kamu, Nes. Tapi, kamunya nggak peka,” ungkap Restu menatap Nessa tanpa kedip disusul kekehan khasnya.
***
“Restu!”
Mendengar namanya disebut, cowok jangkung yang berdiri di dekat pagar setinggi dua meter pun menoleh ke belakang. Wajahnya mendadak tegang dan kepanikan menyerang saat melihat guru BK yang berdiri menunjuk-nunjuk Restu. Sebelum terlambat, ia melepas tas punggung yang tengah ia gendong dan melemparnya ke luar pagar. Detik berikutnya, cowok itu mengambil ancang-ancang, lalu melompat tinggi agar bisa menggapai ujung pagar.
“Restu! Jangan kabur kamu! Balik ke kelas ... sekarang!”
Cowok yang tengah jongkok di ujung pagar hanya tersenyum tipis menatap guru BK-nya selama beberapa detik sebelum melompat turun, menyusul tas punggung yang sudah mendarat terlebih dahulu.
“Buruan kabur, Bu Amal tadi lihat gue!” instruksi cowok yang baru saja mendarat dengan sempurna kepada kedua temannya. Cowok itu bergegas memungut tas punggung yang ia lempar tadi, lalu berlari menjauh diikuti dua temannya. Ketiga cowok itu berlari secepat mungkin menuju warung kopi yang berjarak beberapa meter dari sekolah. Di warung itu mereka menitipkan motor setiap kali memutuskan akan bolos sekolah.
“Akhirnya.” Ketiga cowok itu berujar penuh kelegaan saat mereka sudah duduk di motor masing-masing. Mereka lalu sibuk melepaskan seragam putih yang menutupi kaus di baliknya. Sebagai pengganti seragam, ketiganya kompak mengeluarkan jaket yang disimpan dalam tas masing-masing.
“Sekarang mau ke mana ini?” tanya cowok yang duduk di atas motor merah sambil menyisir rambut dengan jari. Cowok itu adalah Restu Setyadji Winata—Restu. Cowok paling populer di SMA Garuda. Ia populer di kalangan murid lantaran parasnya yang tampan. Sementara di kalangan guru, ia populer karena kenakalannya. Sering masuk keluar ruang BK membuatnya kerap kali menjadi buah bibir para guru.
“Mana ajalah, yang penting cabut. Males banget gue sama Matematika. Udah overload otak gue,” jawab cowok yang ada di kiri Restu. Namanya Adham Wiji Saputra—Adham. Tak jauh berbeda dengan Restu, cowok yang satu ini pun tak kalah populer di semua kalangan.