“Aku rela bersabar demi sebuah kabar.”
“Ponsel lo yang satu bunyi terus, tuh, Nu. Ada telepon kayaknya,” celetuk Adham tanpa melihat ke arah Wisnu. Pandangannya terfokus pada layar ponsel. Sama halnya dengan Restu, Adham dan Wisnu pun tengah memainkan game Free Fire. Cowok itu berbaring di atas karpet bulu yang ada di ruang keluarga rumahnya. Punggung lebarnya menjadi bantalan tidur bagi Wisnu. Ketiganya memang maniak game online, khususnya Free Fire.
“Biarin, FF gue belum BOOYAH, nih! Belom menang, nanggung,” sahut Wisnu yang tengah menembaki musuhnya.
“Angkat dulu kali, Nu. Dicuekin itu nggak enak. Mana tahu penting,” ucap Restu, lalu bangkit dari posisi berbaringnya. Ia sudah kalah di medan pertempuran, tangannya terulur mengambil kaleng minuman soda yang tergeletak di meja.
“Mita, mantan gue. Males ladenin,” ujar Wisnu, lalu melempar ponselnya yang masih berdering ke sofa.
“Silent, berisik,” kali ini Adham yang bersuara. Deringan ponsel Wisnu benar-benar mengganggu konsentrasinya.
Restu beranjak dan duduk di sofa. Ia meraih ponsel milik Wisnu yang terus saja berdering. Tanpa meminta izin dari sang pemilik, Restu menolak panggilan itu dan mematikan ponsel Wisnu.
“Coba dari tadi, Res,” ujar Adham seraya mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Ia mencomot keripik di sampingnya dan memasukkan ke mulut sembari menunggu loading selesai.
Restu memutuskan untuk tidak ikut main bareng lagi bersama kedua sahabatnya. Ia memilih untuk membuka aplikasi WhatsApp. Ia masih berharap pesan-pesan yang ia kirim ke Nessa mendapatkan balasan. Ada delapan pesan yang sudah Restu kirim. Hanya pesan basa-basi, menanyakan sudah makan atau belum, sedang apa, apakah Nessa sibuk atau tidak. Restu ingin menelepon. Namun sayang, tak ada satu pun pesannya yang dibalas. Padahal, tanda centang dua berwarna biru sudah tertera yang berarti pesannya sudah dibaca. Seperti biasa, diabaikan.
Restu kembali mengirim pesan ke Nessa. Ia tidak peduli jika nantinya pesan itu tidak terbalas. Semenit kemudian, tanda centang dua berubah biru dan disusul keterangan Nessa sedang mengetik pesan. Restu tersenyum. Ia tidak sabar menanti pesan balasan dari kekasihnya.
Restu berdecak sebal. Sibuk selalu menjadi alasan Nessa. Memiliki kekasih yang menjabat sebagai ketua OSIS dan murid teladan, membuat Restu kerap kali merasa diabaikan. Mencoba memaklumi dan memahami kesibukan Nessa, Restu pun membalas pesan Nessa dengan kalimat andalannya.
Restu tahu, Nessa tidak sesibuk itu. Hanya saja ia bukan prioritas utama buat Nessa.
***
Cowok yang tengah tengkurap di kasur empuk sembari memeluk guling, menggosok daun telinganya. Ponsel yang terus saja berdering benar-benar mengusik tidurnya. Cowok itu tak lain adalah Restu. Cowok yang pantang bangun pagi lantaran setiap malam begadang demi menyalurkan hobi game online-nya. Restu tahu, ponselnya berbunyi pasti karena gempuran pesan dari Nessa. Sudah sejak mereka baru pacaran sampai sekarang, Nessa tidak pernah lupa untuk menerornya agar bisa bangun pagi dengan cara spam chat atau telepon berkali-kali. Dasar Restu malas bangun, semua yang Nessa lakukan sering diabaikan. Takut terjadi sesuatu yang buruk dengan hubungannya, panggilan kali ini Restu angkat. Lagi pula, kasihan juga Nessa sudah menyempatkan waktu untuknya.
“Halo, Nessayangku. Selamat pagi pacarnya Restu yang selalu cantik memesona, tapi galak tak terkira,” ucap Restu seperti biasa, dengan gaya khasnya.
Cowok itu sudah duduk bersila. Kelopak matanya masih tertutup dan mulutnya berkali-kali terbuka lebar saat menguap. Tangannya menggaruk punggung yang gatal.
“Waalaikumsalam,” sahut Nessa di seberang sana.
Restu membuka mata dan menepuk jidatnya sekali. Ia lupa mengucapkan salam.
“Hehehe maaf, Nes. Salamnya lupa. Maklumlah, ingatnya kamu melulu. Jadi, yang lain sering lupa. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Kenapa pesannya nggak dibalas? Kenapa baru angkat teleponnya? Kamu sengaja, kan? Jadi cowok bisa disiplin, nggak? Kamu harus pinter bagi waktu. Ada waktunya tidur. Ada waktunya bangun. Soal gini aja kamu nggak bisa ngatur.”
Begitulah Nessa. Restu sudah paham dengan setiap kelakuannya. Cerewet, galak, dan pemarah hanya karena masalah sepele. Hampir setiap hari, Nessa tidak pernah absen memberikan omelan kepadanya. Tapi, itulah yang Restu sukai dari Nessa. Nessa peduli kepadanya. Nessa benar-benar perhatian dengan caranya sendiri, meski kadang membuat Restu jengkel. Hanya kesabaran yang Restu butuhkan untuk menghadapi Nessa. Watak Nessa memang keras, Restu harus mencoba memahami dan melunakkan dirinya.
“Kamu, kan, tahu kalau aku orangnya jarang ngobrol kalau lagi tidur. Makanya kalau mau telepon, tunggu aku bangun.”
“Pinter! Sekarang kamu wudu terus shalat. Habis shalat, mandi! Awas kalau tidur lagi!”
Restu terkekeh pelan. Nessa memang paling mengerti kebiasaannya yang sering kali tidur setelah menunaikan shalat. Bahkan, Restu sering tidur meringkuk di atas sajadah.
“Sip, Sayang. Aku matiin dulu teleponnya. Mau wudu dulu.”
“Alihkan ke panggilan video. Aku nggak yakin kalau kamu mau wudu. Taruh ponselnya di mana gitu, biar aku bisa pantau kamu.”
“Sendiko dawuh, Kanjeng Ratu,” ujar Restu, lalu mengangkat ponselnya sejajar dengan wajah. Layar ponselnya kini sudah dipenuhi oleh gambar kekasihnya.
“Muka masih kucel, iler di mana-mana, badan kerempeng dipamerin, dan rambut udah kayak sarang burung,” komentar Nessa begitu melihat wajah Restu.
“Namanya juga baru bangun. Ini wajah natural. Mereka—selain kamu, belum tahu muka jelek aku. Beruntungnya kamu bisa lihat muka naturalku ini. Nes, kamu bangun jam berapa? Buset itu udah rapi bener. Udah mau berangkat sekolah?”
Nessa memang sudah berpakaian seragam lengkap dengan dasi yang menggantung di lehernya. Begitu bangun, cewek itu langsung mandi dan berpakaian seragam, lalu shalat. Murid paling rajin di SMA Garuda adalah Nessa. Berangkat paling awal dan langsung berdiri di pintu gerbang untuk mengamankan kerapian, ketertiban, dan kedisiplinan murid SMA Garuda.
“Jam 06.15 aku OTW. Kamu nggak usah nunggu aku di gang. Kelamaan. Sekarang kamu masuk ke kamar mandi, wudu! Buruan. Aku pantau.”
Restu menganggukkan kepala. Ponsel ia letakkan di meja belajar dengan kamera terarah ke kamar mandi.
“Udah pas belum? Apa ponselnya aku taruh di kamar mandi? Biar kamu bisa pantau apa yang aku lakuin di sana?”