Cerita ini Fiksi. Di buat hanya untuk hiburan semata.
***
Plaak~!
Suara tamparan itu begitu keras hingga kepala Franz berdenging, kepalanya pun terasa seperti kosong sesaat dan barulah dia merasakan sakit setelah beberapa detik, seperti sarafnya baru bisa memproses rasa sakit itu.
“Papa!” suara Vivi setengah berteriak karena tidak percaya bahwa ayah mereka akan setega itu menampar Franz.
Franz menarik Vivi yang mencoba melerai mereka berdua. Franz sudah tahu konsekuensinya dan membiarkan hal itu terjadi, tamparan memang tidak dia pikirkan karena dia berpikir mungkin ayahnya akan memukulnya.
“Vi, kamu masuk ke dalem,” ucap Franz.
“Tapi abang.”
“Nurut kata abang masuk, ini bawa masuk,” ucap Franz sambil memberikan plastik yang berisikan es krim.
“Vivi, masuk sayang,” Maria berdiri di depan pintu dan menyuruhnya untuk masuk.
Vivi tidak bisa berkutik dan akhirnya mengikuti apa yang disuruh oleh Franz dia masuk ke dalam rumah, sedangkan Firoz dan Franz masih di depan rumah.
“Maaf pah,” ucap Franz.
Firoz mengangkat tangannya kembali, tapi kali ini dia tidak menampar namun menyentuh kepala anaknya dengan lembut, dia mengusap-nya perlahan sambil membuang nafas kencang.
“Ayo keluar dulu.”
Franz hanya mengikuti ayahnya dari belakang dia tidak bicara apa-apa dan hanya tidak pernah tahu kenapa ayah dan ibunya selalu seakan menutupi kehadiran Vivi di rumah.
Apa Vivi anak yang mereka culik.
Tapi tidak mungkin.
“Angkasa,” panggil Firoz.
“Ya Pah.”
“Maaf udah nampar kamu tadi.”
“Enggak papa, salah aku juga bawa Vivi keluar.”
“Kamu gak nanya ke Papa, kenapa Papa larang kamu bawa dia keluar?”
“Gak usah soal Vivi, aku aja gak ngerti sebenernya, Papa sama Mama tuh kerja apa.”