Flashback
Vivi membuka mata mencoba untuk sadar, kepalanya sangat sakit dan dia tidak bisa menahannya, darah mengucur dari puncak kepala mengalir sampai ke pelipis, dan mengenai bulu matanya.
Pandangannya kabur, dia tidak bisa melihat dengan jelas, entah karena gagar otak atau karena darah yang mengalir hingga ke mata.
Vivi mencoba mengingat apa yang terjadi, seingat dia, Maria tiba-tiba masuk ke kamarnya lalu langsung mengemasi barang-barangnya.
“Vi, mama minta maaf, tapi kamu harus pergi sekarang,” ucap Maria.
Itu adalah kata-kata yang Vivi ingat terakhir kali sebelum kecelakaan ini terjadi. Bahkan Firoz pun terlihat sangat khawatir, dia menyetir dengan tergesa-gesa, bahkan menyerahkan sebuah ponsel padanya.
“Vi, kamu pegang ini hp, disana ada sebuah uang yang gak akan bisa dilacak dan juga daftar tempat atas nama mama, tapi gak akan bisa dilacak juga. Kamu atur semua dan bersembunyi.”
“Ini ada apa sebenernya?” aku mau ditangkep?”
“Vi, mama minta maaf, tapi, mereka bisa mereka mau rekrut kamu, tapi kami gak percaya, ketika mereka aja nangkep kamu, mama gak percaya mereka akan ngerawat kamu.”
“Terus maksudnya, papa sama mama nyuruh aku kabur dan jangan hubungin kalian lagi?”
“Vi, tanpa kami harus ngasih tahu kami dimana, kamu pasti bisa cari tahu tentang kami, kalau saatnya udah tepat, kamu pulang, temuin Franz dan Fiona, temuin papa sama mama, oke?”
Vivi mengangguk. Dia tidak punya pilihan, apa yang dikatakan oleh Firoz memang ada benarnya, akan jauh lebih baik dan lebih aman jika dia pergi, dan menghilang. Kembali lagi nanti saat semua sudah kembali normal. Walau itu sulit.
Ingatannya seakan kembali walau hanya sepotong-sepotong, dengan mata yang buram, Vivi merogoh kantong celanannya, ponsel itu masih ada. Tas kecil yang dia bawa terjatuh ke bawah namun masih bisa di jangkau.
Dia melihat ke bangku depan, Maria dan Firoz sudah bersimba darah, mobil ini di tabrak oleh sebuah truk besar yang memang beroperasi pada jam-jam segini.
Vivi menggoncang tubuh kedua orang itu berharap mereka masih sadar dan bisa berbicara namun sepertinya tidak bisa.
Tubuh Firoz sudah dingin dan bahkan ketika Vivi mendekatkan jarinya ke hidung sudah tidak ada lagi nafas.
“Vi…,” sebuah suara yang sangat lirih terdengar dari Maria.
“Ma, ma sadar ma,” ucap Vivi pelan.
“Pergi Vi, pergi, kamu gak boleh ke tangkep atau usaha kami sia-sia.”
“Tapi ma!”
“Vi, mama titip Franz dan Fiona, jaga mereka dari jauh, dan inget kata papa, pulanglah saat kamu rasa itu sudah saatnya.”
“Ma, aku gak mau mama sama papa begini karena aku.”