Derap langkah kaki yang terdengar tegas dan mencekam membuat suara-suara yang tadi memenuhi loby perusahaan ternama di Indonesia ini menjadi lenyap seketika. Tak ada satupun dari karyawan yang berkutik saat mata tajam itu menelusuri setiap sudut ruangan.
"Apa yang kalian lihat?"
Pertanyaan yang terdengar mengintimidasi itu membuat seluruh karyawan langsung menyibukkan diri. Mereka tidak ingin mengambil risiko dengan membuat lelaki itu kesal. Setelah merasa tak satupun dari mereka yang memperhatikannya, pemilik mata tajam itu berjalan dengan seorang asisten yang mengikutinya.
"Pak Amar itu tampan, cerdas, tapi sayangnya dingin banget."
Merasa namanya disebut meski terdengar berbisik membuat pemilik mata tajam itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap seorang gadis yang baru saja memuji sekaligus mengatainya.
"Siapa namamu?" tanyanya sembari berjalan mendekati gadis itu.
"De—wi, Pak."
Lelaki itu menatap gadis yang bernama Dewi dari ujung rambut hingga ujung kaki seakan mengulitinya. Kemudian senyum miring tercetak di wajahnya, sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan gadis itu yang kini dapat bernapas lega.
Ia berjalan mendekati mejanya dan duduk di kursi kebesarannya. Tempat bertuliskan 'Direktur Utama' dengan namanya 'Amar Wijaksana' terpampang jelas di sana.
"Denis!"
"Saya, Pak."
"Tinggalkan saya sendiri!" tegas Amar memberikan perintahnya pada sang asisten membuat sang empunya membungkuk hormat dan meninggalkan ruangan tersebut.
Amar memainkan pulpen dalam genggamannya, kemudian senyum sinis kembali tercetak jelas di wajahnya.
"Dewi, let's play with me!"
***
Brakkk...
Bunyi bantingan pintu terdengar nyaring memenuhi ruangan kosong yang mencekam.
"Pak Amar, maafkan saya."
Amar tersenyum miring mendengar korbannya memohon. Ia berjalan semakin mendekat ke arah Dewi yang terlihat kacau dengan penampilannya yang telah jauh dari kata rapi.
"Kau bilang saya dingin, kan?"
"Pak—arggg sak—it!"
Amar tertawa menatap Dewi yang kini merintih karena tangannya ia sayat dengan pisau yang berada di genggamannya. Amar mengalihkan pandangannya ke arah pisau yang kini berubah menjadi warna merah.
"Pak saya mohon maaf—"
"Diam!"
Srettt...
"Arggghh...."
"Saya benci orang munafik sepertimu!"
Srettt...
"Argghhh..."
Amar kembali menggoreskan pisau di wajah Dewi membuat darah menetes semakin banyak membanjiri lantai gudang yang kotor dan dingin.
Ia tertawa menatap wajah korbannya yang nampak tak berdaya. Bahkan mata gadis itu yang mengeluarkan buliran bening tak membuat Amar dilanda rasa iba. Lelaki itu tersenyum sinis dan setelahnya melayangkan pisau ke arah Dewi.
Jleb ... Jleb ... Jleb ...