I'M Not A Psychopat

Mellysa
Chapter #4

Bab 3 Rasa Takut

Brakkk....

"Arggghhh...."

"Pak, anda baik-baik saja?"

Amar membuka matanya dan langsung beradu pandang dengan Denis yang menatapnya khawatir. Ia segera bangkit kemudian mengedarkan pandangannya, tapi tak ada seorangpun di sana selain ia dan Denis. Ia mengembuskan napas lega.

"Denis, segera carikan saya apartemen baru!"

"Apartemen? Tapi ada apa dengan apartemen yang ini, Pak?"

"Kau masih bertanya! Kau tidak lihat tadi, segerombolan polisi baru saja mengejarku?" tanya Amar geram. Ia bahkan hampir saja kehabisan napas saking takutnya, tapi Denis justru bertanya hal yang sudah jelas jawabannya.

"Maaf, Pak. Sedari tadi saya tidak melihat siapapun di sini."

"Itu karena kau datangnya telat!" sewot Amar. Ia mengacak rambutnya frustasi dan mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian kembali mengalihkan atensinya pada Denis yang berdiri di hadapannya sambil menunduk.

"Besok pagi, kunci apartemen yang baru sudah harus berada di kamar saya. Sekarang keluar!"

"Tapi, Pak—"

"Keluar!" pinta Amar geram. Sedangkan Denis segera membungkuk hormat dan berjalan ke luar.

Drtttt ... drttt....

Amar segera merogoh ponselnya saat menyadari bahwa benda pipih itu bergetar. Tak ada nama yang muncul, melainkan hanya sederet angka sebagai pemanggil. Dengan ragu, Amar mengangkatnya.

"Dengan saudara Amar? Kami dari pihak kepolisian—"

Brak ... prang....

Amar mengatur napasnya yang tiba-tiba saja memburu, lalu mengalihkan tatapan pada ponselnya yang kini hancur karena baru saja dibantingnya.

"Kenapa semuanya jadi kacau? Saya bukan pembunuh, bukan...," lirih Amar dengan tangan yang berulang kali memukul kepalanya. Ia terlalu takut menghadapi masalah serumit ini sendiri.

***

Denis melangkah masuk ke dalam kamar Amar dan ternyata bosnya itu masih tidur. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ternyata pukul 4 pagi.

"Dia terlihat lebih polos jika tidur seperti ini," gumam Denis dengan pandangan yang tak lepas dari Amar. Ia kemudian merogoh celananya dan mengeluarkan sebuah cardlock apartemen yang diminta Amar, beserta alamatnya.

"Semuanya akan segera selesai, Amar," tutur Denis dan setelahnya berlalu meninggalkan kamar lelaki itu. Ia berdiri di depan pintu apartemen, kemudian memandang cardlock yang memang sengaja ia gandakan.

Sepeninggalan Denis, Amar mulai mengerjapkan matanya dan berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Kring ... kring....

Amar menatap dengan curiga pada telepon rumah yang baru saja berbunyi. Perlahan tangannya bergerak untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Karma segera menghampirimu."

Amar segera menjauhkan telepon dari genggamannya, lalu memutuskan kabel telepon. Ia menelan ludahnya susah payah, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya dan tangannya bergetar menahan takut.

Lihat selengkapnya