"Apa kita pernah kenal sebelumnya?"
Amar menatap gadis itu dan menunggu jawabannya. Sedangkan sang empunya justru tersenyum kemudian mengangguk.
"Aku Amara, sahabat kecil kamu."
Amar mengerutkan keningnya, mencoba mengingat tentang gadis yang mengaku bernama Amara ini.
"Amar, kalau kamu udah besar berarti tidak butuh Amara lagi."
"Kok gitu?"
"Karena nanti Amar udah punya banyak teman"
"Gak, kok. Amara akan tetap menjadi teman Amar."
"Amara?" gumam Amar dengan pertanyaan yang ditujukan untuk diri sendiri.
"Iya, ini aku."
"Kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya Amar dengan mata yang tampak berkaca. Ada perasaan rindu pada sosok di hadapannya saat ini.
"Karena baru sekarang kamu membutuhkan aku. Sama seperti pas kita kecil, aku pergi karena kamu sudah punya banyak teman dan tidak membutuhkan aku lagi," balas Amara dengan senyum yang terus tersungging di bibir mungilnya.
"Sekarang aku sudah tidak punya teman."
"Justru karena itu aku datang. Kamu tidak keberatan, kan?"
Amar menggeleng dengan cepat. Ia tidak mungkin keberatan dengan kehadiran Amara. Bahkan hanya di hadapan gadis itu, Amar terlihat lebih lunak.
"Kamu tahu dari mana aku di sana?"
"Aku tidak sengaja lewat, niatnya mau ke supermarket."
Amar mengangguk mengerti. Ia kembali menatap Amara yang kini memusatkan perhatiannya ke depan. Ia mencoba berfikir, kemudian memecahkan keheningan yang sempat tercipta.
"Amara!"
"Hem?"
"Aku ... aku bukan Amar yang dulu, aku...."
Amar tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Beberapa saat, rasa takut kembali menggerogotinya. Ia takut gadis itu akan menjauh saat tahu tentang kebiasaan buruknya.
"Kenapa? Cerita pelan-pelan."