“Another day without your smile
Another day just passes by
And now I know
How much it means
For you to stay right here with me”
Alunan suara Kian Egan, Shane Filan, dan Brian dalam soundtrack film Up, menemani Hanina menata buku-buku yang menjadi saksi perjalanan kisahnya sejak semester satu ke dalam kardus. Memilih kertas-kertas HVS yang sarat kenangan layak disimpan atau pantas diloakkan. Pipinya memerah, tersenyum merona saat teringat masa awal kuliahnya dulu.
Skripsi yang penuh perjuangan dengan hard cover warna biru masih bertengger manis di rak, ada tiga nama dalam lembar persembahan skripsi Hanina. Nama ayah, ibu, dan si pemilik nama yang hanya ia bisa temui di dalam hati, Rayyan Assyauq.
“Lulus dahulu, lamaran kemudian.” Tiga kartu ucapan, berhias doodle serta tulisan tangan Rayyan berisi pesan itu. Barisan kata yang sama pun Rayyan kirimkan ke ponsel Hanina. Tiap pagi menyapa, menunggu dosen untuk bimbingan skripsi, hingga mata akan terpejam, tak ada bosannya Hanina mengulang membaca pesan-pesan itu.
Hanya melalui pesan mereka berkomunikasi, itu pun seminggu sekali tak pasti. Hati Hanina dipermainkan rindu, bukan rindu ingin bertemu, melainkan rindu barisan pesan yang selalu disimpan. Jarak Yogyakarta membentang sampai Semarang memisahkan dua insan, yang menyatu dalam lantunan doa.
***
Hanina teringat malam itu hari pertamanya di Semarang, jaket ungu panjang selutut Hanina kenakan sembari menutup pintu kamar, tangannya lincah mengaitkan kancing sembari menuruni tangga secepat yang Hanina mampu. Jilbab ungu muda motif bunga kecil-kecil terkibas manis, nafasnya terengah-engah saat izin Pak Sam, pemilik asrama putri yang baru dua hari Hanina tempati.
“Kenapa tidak menyiapkan sejak tadi sore?” selidik Pak Sam, kumis yang lebat membuat wajahnya semakin galak.
“Denah kampus saya sudah jadi, Pak. Tapi, saya salah, seharusnya yang diberi gambar denah bukan pada kertas asturo warna biru, melainkan di bagian warna putihnya,” jelas Hanina memelas sembari mengatur nafas.