Bunyi klakson lebih sering terdengar saat Rayyan melintas menuju gedung auditorium kampus. Sesekali ia melihat kaca spion, memastikan gadis itu berlari tidak untuk mengejarnya.
Bau keringat, itulah kesan pertama Rayyan, saat seorang gadis masuk ke toko alat tulis. Tapi, kesan pertama yang asam, terhapus saat pemilik mata indah mengucapkan terima kasih pada Rayyan. Tiba-tiba hati Rayyan selalu berbisik, mengamati pemilik bulu mata lentik alami kala menjawab penuh antusias pertanyaan penjaga toko yang sebenarnya bisa ia cari jawabannya di google.
“Ya Allah, senyumnya.” Sekali lagi bunyi klakson membuyarkan kenangan yang tak terhapuskan. Rayyan sadar, terlupa mematikan lampu sein motor.
Malam itu, Rayyan bersama panitia ospek mahasiswa baru menyiapkan background untuk acara pembukaan ospek esok hari. Rayyan tak sempat kembali ke asrama, selepas shalat isya Rayyan bergegas mencari kertas asturo, untuk digunting dengan pola huruf, membentuk tulisan nama tiap fakultas yang ada di kampus. Semua warna telah didapat, kecuali asturo warna biru. Saat apa yang dicari telah diperoleh, namun ia lebih merelakan untuk si mata indah yang memelas menatapnya.
***
Ponsel Hanina berdering berulang kali, banyak panggilan yang ia abaikan. Ia agak kesiangan, karena kembali tidur selepas subuh. Semalam ia begadang menyelesaikan denah kampus. Ia oleskan bedak tipis dengan lipstik warna peach, atasan putih dengan rok hitam telah rapi ia kenakan. Jilbab hitam ia atur supaya tidak lucek saat memakai jas almamater yang masih tercium aroma khas barang baru.
Ada lima panggilan tidak terjawab dari ibunya dan Dewi. Banyak pesan masuk di ponselnya, ucapan selamat pagi dan mengingatkan untuk sarapan dengan lima emotikon senyum dari ibu.
Ia membalas: Siap laksanakan, semoga sarapannya enak kayak masakan Ibu, peluk jauh dari Hanina.
Dan ada pesan penting dari Dewi, kalung identitas peserta ospek miliknya tertinggal di kamar Hanina tadi malam. Parahnya, Dewi baru ingat saat ia sudah sampai di gedung auditorium kampus.
Hanina mengetik: Udah tenang aja, tunggu aku di pintu audit. Kalung identitasmu sudah kupakai sekalian, biar aku juga nggak kelupaan bawa. Hihihi.
Masih pukul enam lebih lima menit, namun matahari sudah gagah menyapa pagi. Hanina sempatkan sarapan meskipun terkejar waktu, masakan di warung makan tepat di depan asramanya enak dengan porsi yang lumayan banyak, pas untuk Hanina.
Hanina melahap tuntas makanannya, saat akan beranjak ia menoleh, lalu berpaling, dua detik kemudian ia menoleh sekali lagi memastikan cowok yang baru saja memesan makanan. Mas Asturo Biru, ia memutuskan memberi nama itu sejak tadi malam. Hanina merasa berhutang padanya, mau menyapa dikira sok kenal atau bahkan centil. Lagian Hanina juga tidak banyak waktu pagi ini.
***
Rayyan mengamati background yang semalam ia buat bersama panitia yang lain. Ide yang sangat keren, ia ubah warna biru tua menjadi biru muda, tulisan FMIPA begitu jelas terlihat meskipun dari jarak jauh.
Rayyan lebih sering tersenyum pagi ini, wajahnya cerah, padahal seharusnya lelah. Biasanya ia sarapan saat hari beranjak siang, karena jatah makan dari asrama hanya dua kali sehari. Hari itu cacing dalam perut terus bersorak, protes. Rayyan berandai jika gadis cerdas itu ada di sini, mungkin dia bisa menjelaskan secara ilmiah tentang suara dari dalam perutnya.
Satu-satunya warung makan yang sudah buka, warung makan depan asrama putri. Lumayan jauh dari gedung auditorium, ia harus jalan ke arah timur sekitar tiga ratus meter.
“Bu, masnya nggak perlu bayar,” ungkap Doni, bocah laki-laki kasir toko alat tulis tadi malam. Ia menyandang tas dan berseragam putih dan biru tua bersiap sekolah.
“I’m thinking about how people fall in love in mysterious ways.” Doni menggunakan tasnya bergaya memainkan gitar.