I'm Ok Without You

IntifaahMochammad
Chapter #7

7. Thank's

Mata kuliah geometri dasar untuk mahasiswa semester satu selesai pukul lima lebih sepuluh menit. Sebenarnya, perkuliahan dimulai pukul tiga. Tapi berhubung terlalu mepet dengan waktu salat asar, saat kontrak perkuliahan sang dosen meminta untuk mundur tiga puluh menit. Hari-hari biasanya tidak ada masalah untuk Hanina, cukup bermasalah untuk sore ini.

Dijadwalkan pukul setengah empat, kampanye dialogis digelar di gazebo samping gedung pusat kegiatan mahasiswa, gedung markasnya para aktivis kampus, dari kejauhan gedung ini terlihat jelas ada cat putih bertuliskan PKM pada atap gedung. Tidak begitu jauh dari gedung perkuliahan Hanina, sekitar lima menit berjalan sudah sampai.

Selama perkuliahan, Hanina sempat mencuri membuka ponsel. Dewi mengirimkan foto-foto di tempat kampanye dialogis, lebih banyak foto Dafa Mahendra. Ada satu foto Rayyan Assyauq itu pun dari kejauhan, tidak jelas. Waktu berputar terasa lama baginya, sempat terbersit keinginan untuk bolos kuliah, buru-buru ia tepis jauh pikiran itu.

 Hanina berjalan cepat menuju gedung PKM, semangat menderu. Meskipun hari ini jadwal kuliahnya 7 sks sejak pagi, ia tak merasa lelah. Penasaran dengan kedua calon, yang menurut Novita, lawan yang seimbang.

Tingga beberapa langkah lagi Hanina hampir sampai, hanya berjarak lima meter dari tempat kampanye dialogis. Ia mendengar suara dari microphone mengingatkan untuk menggunakan hak suara dua hari lagi. Dan salam penutup membuyarkan para mahasiswa yang tertarik menyaksikan.

Hanina tidak menemukan Dewi atau Novita di tempat itu. Ia mencoba menghubungi mereka, tidak ada jawaban. Ia berbalik arah menuju gerbang belakang kampus, tepat samping asrama putri excellent. Jalannya gontai, lelah bercampur dengan kecewa, ada sesal, serta sesak di dalam dada. Dan sialnya, gerbang kecil yang ia tuju sudah dikunci. Ia harus berbalik memutari gedung, melewati jalan raya, berkali-kali lipat lebih jauh. Senja segera berujung, azan magrib sebentar lagi berkumandang, ia tidak ingin mendapatkan poin pelanggaran dari asrama. Langkah satu-satunya lari dengan sisa tenaga.

Hanina mengurungkan niat untuk berlari. Ia merasa beruntung, kampus tidak sepi seperti yang ia pikirkan, banyak mahasiswa yang masih di kampus. Tapi, tidak ada anak asrama excellent. Ia baru pertama kali menikmati senja di sekitar kampus. Warna jingga kemerahan terpantul ayu di ufuk barat, dengan matahari bulat sempurna, meskipun silau dilihat oleh mata.

Kontur tanah pegunungan membuat antar gedung di kampus terpisahkan tangga fondasi sekitar satu sampai satu setengah meter. Hanina melewati gedung perkuliahan, musala fakultas, lapangan basket, dan jalan aspal depan kampus. Semakin jauh ia melangkah, suasana menjadi sunyi, tak ada seorang pun yang berjalan kaki seperti dirinya. Hening, ia jadi parno sendiri. Ia mempercepat jalan, azan magrib lebih dahulu berkumandang, padahal langkahnya masih jauh dari asrama. Ada panggilan masuk di ponselnya.

“Kamu di mana?”

“Aku masih di kampus, pintu gerbang kecil belakang sudah dikunci. Aku mutar kampus.” Hanina curhat panjang, napasnya memburu, cemas bercampur jadi satu, dan langkahnya tetap berayun cepat.

“Kenapa nggak lompat pagar saja, cepetan ya! kusiapkan mukena untukmu, ambil wudu di kamar mandi tamu.” Suara Dewi ikut tegang.

Belum sempat Hanina mengucapkan terima kasih, ponselnya bergetar panjang, dan simbol merek ponselnya muncul di layar, mati. Semakin melengkapi penderitaan Hanina. Poin pelanggaran dari asrama sudah pasti ia dapatkan. Mengepel musala meskipun luas, mudah saja baginya. Tapi, mengepel karena mendapatkan poin pelanggaran itu memalukan. Ia ingin menangis.

Lihat selengkapnya