Hanina melangkah gesit, menaiki tangga fondasi antar gedung. Terdengar riuh sorak mahasiswa antar fakultas membuat semangatnya kian memburu. Mereka menyebut nama kandidat ketua BEM dukungan dua kubu. Kaki Hanina semakin melaju, beriring nafas yang terengah.
Usai mata kuliah teori probabilitas, ia harus kembali lagi ke asrama, mengambil payung ungu andalannya. Padahal ia ingin langsung menuju lokasi perhitungan suara. Ia menilik poster kampanye milik Rayyan, ia sengaja melepas satu poster yang terpasang di kampus. Hanina lipat dan diselipkan ke dalam tasnya.
Angin menerbangkan ujung jilbab. Awan berarak lambat memayunginya, membawa hasil kondensasi yang pekat. Siap menumpahkan rintiknya setiap saat.
Meskipun dari jauh matanya mampu membaca angka perolehan suara yang tertera pada proyektor. Akumulasi suara tiap fakultas diumumkan secara terbuka di halaman gedung PKM. Ia mendapati sosok Rayyan di barisan depan menghadap proyektor, ada Novita yang duduk tepat di belakangnya. Novita mengatupkan tangan merapal doa, selisih suara hanya delapan belas, sungguh tipis. Tersisa dua fakultas yang belum terakumulasi, fakultas hukum dan ekonomi.
Degup jantung Hanina berderu, ikut tegang dengan hasil pemilihan ketua BEM. Dan ada yang pasti aroma sate hati, karena terselip rasa yang tak dimengerti Hanina sendiri, rasa ingin bertukar peran dengan Novita yang setia mendampingi.
Panitia pemilihan umum ketua BEM, mengulur waktu memainkan emosi campur aduk pendukung tiap calon. Kedua calon tampak tenang dan terkadang mereka berdua saling bicara. Melihat Rayyan hanya punggungnya saja, Hanina merasa cukup.
Satu fakultas diumumkan, akumulasi jumlah suara Rayyan unggul lima suara dari Dafa. Satu fakultas terakhir semua bersorak, memberikan tepuk tangan. Rayyan dan Dafa berpelukan menepuk punggung lantas bersalaman.
Hanina di belakang menitikan air mata, air mata bahagia. Rayyan tidak menjadi ketua BEM. Tapi, ia sadar ada gundah yang menyelinap masuk menguasai hati, Novita menyodorkan botol minumannya pada Rayyan.
Hanina berbalik, dadanya sesak. Ia merutuki perasaannya sendiri, menyesali sempat merasa bahagia karena kebaikan Rayyan.
***
Hanina mencari tempat menghibur diri. Ada anak-anak SD binaan kampus sedang bertanding futsal. Orang tua mereka bersorak di pinggir lapangan, heboh. Hanina ikut euforia mereka, padahal tak ada yang ia kenali seorang pun. Baginya yang terpenting bisa memuntahkan emosinya.
"Pak," Hanina memanggil tukang siomay yang lewat di depannya.
"Siomay yang pedas, sambalnya banyak, tanpa kubis." Tak menunggu lama siomay dalam sterofoam di tangannya.
Ia duduk bersila di atas rumput yang habis terpotong, bersanding tanaman pucuk merah yang mulai bersemi lebat. Ia keluarkan earphone, lagu-lagu galau Adele, Taylor Swift, sampai lagu milik The Lord of Broken Heart, Almarhum Didi Kempot memenuhi memori ponselnya. Ia selipkan earphone yang tak ingin ia dengarkan suaranya, Hanina hanya ingin self healing.
Melihat anak-anak tanding gayanya lucu. Ada yang paling profesional, si pipi cubby yang gesit dan menggemaskan. Ada juga yang acap kali melakukan kesalahan menoleh ke arah orangtuanya.
Ia buka siomay dan mulai makam satu potong, "Tukang siomay amanah banget, berapa sendok ia menuang sambal." Hanina tak sadar bicara sendiri.
"Kayaknya kamu butuh minum!" suaranya berat. Ia sodorkan tumbler yang tadi Hanina lihat.
"Sok care." Hanina berucap pelan. Ia beranjak dari duduknya.
"What have you said? So care?” goda Rayyan. Hanina bergeming dengan melanjutkan melahap siomay di tangannya.
“Rufaida," panggilnya.
"Maaf ya, aku nggak jadi ketua BEM." Suara Rayyan merendah, Hanina menunduk. Ia merasa bersalah telah ketus padanya.
"Kenapa harus minta maaf?" Hanina berusaha tersenyum meski masih ada luka di hatinya.