Rintik hujan tak begitu deras, namun angin bertiup kencang membuat spanduk di sepanjang kampus bergoyang hebat, bahkan ada yang terlepas menggelantung bertahan di satu sisi. Hanina sengaja membuka kaca helm, membiarkan air hujan menyatu dengan air mata yang tak sanggup dibendung lagi, hatinya begitu sakit.
Tak butuh waktu lama, Hanina sudah memarkir motor Rayyan di depan asrama. Kepalanya menoleh, ia menoleh sekali lagi, memastikan tidak anak asrama yang kebetulan keluar asrama ataupun balik dari kampus. Menyiapkan jawaban yang tepat jikalau ada anak asrama atau bahkan Dewi atau mungkin Kak Nov yang kebetulan memergokinya bertemu Rayyan.
“Ini payungmu, Makasih.” Suara itu tiba-tiba datang tanpa Hanina sadari.
Hanina masih tersenyum manis pada Rayyan, antara hati dan garis bibir nggak bisa kompak. “Kontaknya masih nggantung, aku yang seharusnya bilang terima kasih. Aku masuk dulu.” Tanpa menunggu jawaban Rayyan, Hanina berlalu.
Rayyan bergumam di depan spion, “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Ia jawab sendiri salamnya.
***
“Just let me adore you, Like it’s the only thing I’ll ever do. Like it’s the only thing I’ll ever do.” Rayyan bersenandung lagu Harry Edward Styles sembari mengepel lantai. Affan sudah rapi dengan sarung lengkap peci hitam, hendak mengumandangkan azan magrib di masjid kampus, Al-Ahqaf begitulah kaligrafi gagah di atas pintu masjid.
“Mas, sejak kemarin nyanyi terus, please fill in the blank! you refers to .... ?” Affan bertanya ala-ala guru di kelas Bahasa Inggris.
“You? You are Allah, You are always there.” Rayyan kembali bersenandung, menggerakkan tangannya ke dada menirukan vokalis nasyid.
Affan menautkan alisnya. “Lagu apa itu Mas?”
“Waktu aku lima tahun pas bulan Ramadan, bapakku sering ngajari nyanyi lagu itu.” Wajah Rayyan mendadak mendung terkenang mendiang bapaknya.