Aku duduk di atas rumput, memandangi air danau yang ramai oleh aktivitas para penghuni air. Area tempatku dan Narama duduk rumputnya sudah dirapikan, jadi rumput-rumput itu tidak mengganggu dan menusuk pantat kami. Ini adalah area bersantai yang banyak digemari bangsa kami, tepatnya penghuni Fairy realm.
“Tempat ini sangat bagus.” Narama berkomentar sambil masih mengamati sekitar.
Aku mengikuti pandangannya. Bunga-bunga di area ini tidak terlalu tinggi, tingginya hanya setengah badan kami. Juga jaraknya tidak terlalu sering, jadi tidak terkesan suram. Walau ada beberapa jenis bunga, namun warna hijau lebih mendominasi. Ada satu pohon besar yang menaungi tempat ini, membuat bayangan di bawahnya. Sinar matahari terhalang oleh dahan-dahannya yang rindang.
“Aku sangat suka naik ke punggung mereka.” Kataku saat pandangan kami teralih ke danau. Sambil menunjuk sekumpulan ikan mas dewasa.
“Tinggimu berapa?” Narama berdiri, mengamati ikan mas itu lebih dekat.
“35cm.” aku mengikutinya.
“Kau lumayan tinggi. Aku 42cm. Bukankah ikan-ikan itu hanya sekitar 45cm?”
“Iya. Tapi mungkin lebih liar dari ikan-ikan di wilayahmu dulu. Mau mencobanya?” aku sudah memegang lengan Narama.
Belum sempat ia menjawab, aku sudah menarik lengan berototnya. Membuatnya terbang mengikutiku menuju air. Ia tersenyum, matanya bersemangat memilih salah satu ikan yang akan ia duduki punggungnya.
“Aku memilih yang itu.” Ia menunjuk ikan putih dengan bercak hitam. Ukurannya tidak terlalu jauh dengan tinggi badan Narama.
“Aku akan menaiki yang itu.” Ikan yang kupilih ukurannya tidak jauh beda dengan ikan yang dipilih Narama. Hanya saja warnanya berbeda. Ikan mas yang kupilih berwarna putih dengan bercak jingga yang dominan, dan sedikit bercak hitam.
Tanpa memberikan aba-aba, aku terbang turun tepat di punggung ikan tersebut. Narama melakukan hal yang sama.
“Ow..” Narama terkesiap. Ikan yang ia naiki cukup terkejut dengan pendaratannya yang tiba-tiba.
“Sayapmu.” Aku memperingatkan sebelum ikan itu membawa Narama masuk ke air. Untungnya ia cukup siap. Sayapnya langsung menghilang ketika satengah badannya mulai tenggelam.
Sayapku juga aku simpan, menghilang. Ikan yang kunaiki ternyata lebih agresif dari yang aku fikirkan.
Saat tubuhku sepenuhnya masuk ke air, aku melihat Narama sudah bisa sedikit mengendalikan ikan mas bercak hitam itu. Ia melewatiku dengan senyumnya yang mengembang. Gigi putihnya terlihat dan matanya yang kecil menyipit, hampir terpejam. Aku mengendalikan ikan yang aku tunggangi dan berenang mengejar Narama. Dia memilih rute yang bagus. Berenang di sela-sela akar bunga air. Terkadang membuat ikan itu sedikit meloncat ke udara. Memberinya waktu untuk menghirup udara bebas di atas air. Walau kami bisa bernafas di dalam air, tentu saja rasanya sangat berbeda dengan bernafas di udara.
Semakin lama, Narama semakin lihai mengendalikan ikan itu. Mengimbangi keahlianku yang memang sudah terbiasa mengendarai ikan liar ini. Saat merasa kami sudah berenang cukup jauh dari titik awal, Narama membalikkan rute. Ia kembali memamerkan senyuman lebarnya dan sedikit tertawa. Ia terlihat begitu senang dengan apa yang ia lakukan. Dan tawa ringannya yang renyah menular padaku. Entah mengapa hanya melihatnya tertawa seperti itu membuatku ikut bahagia.
Aku mengikuti rute yang Narama ambil, menuju titik awal. Jika tadi kami berenang melewati rute pinggiran danau. Kali ini Narama mengambil rute sedikit ke tengah. Dari belakang aku sekaligus mengawasinya.
“Jangan terlalu ke tengah. Kau akan dimarahi peri air!” aku berteriak memperingatkan.
Narama sedikit menggeser laju berenangnya. Ia tidak sempat menjawabku, namun ia cukup jelas mendengar peringatan yang aku berikan.
“Apa biasanya peri air suka memarahimu?” ia tiba-tiba memelankan laju berenangnya. Untungnya aku sangat siap. Jadi tidak ada adegan tabrakan yang konyol.
“Iya, jika aku sedikit nakal berenang ke tengah danau. Aku dengar wilayah peri air sangat indah.” Aku mangatakan kalimat terakhir dengan berbisik.
“Aku dengar. Berarti kau belum pernah kesana.” Ia menggodaku.