Tidak butuh waktu lama untuk sampai di area bencana. Kami tidak perlu melakukan persinggahan untuk istirahat. Tim pengarah menyarankan agar kami langsung menuju lokasi, kemudian membagikan makanan yang kami bawa. Sekaligus makan siang bersama mereka.
Makanan yang aku dan Narama bawa cukup banyak. Kurang lebih cukup untuk makan seluruh penghuni padang rumput hingga tiga hari kedepan. Makanan-makanan itu dibungkus dengan kantong besar, kemudian di bagian luarnya aku taburkan bubuk ajaib agar mudah membawanya terbang.
Area bencana itu benar-benar terlihat seperti sebuah bencana. Narama sampai tercengang melihatnya. Aku sendiri sudah mulas ketika melihat penampakan area padang rumput yang sudah seperti rawa-rawa itu. Aku tidak bisa berfikir apa yang harus aku lakukan pertama kali untuk mengatasinya. Entah berapa lama aku dan Narama terbang di tempat mengamati area itu.
“Dimana penghuninya mengungsi?” Narama yang lebih dulu memecah kesunyian. Menyadarkanku.
“Bukankah disana?” aku menunjuk sebuah pohon besar dikejauhan.
Narama terdiam sejenak. Mungkin memindai denah lokasi yang sudah ia rekam dalam otaknya.
Aku mengulurkan tanganku kembali yang tadi sempat kulepaskan dari genggaman Narama. Ia menyambutnya. Kami langsung menuju pohon besar itu, tanpa banyak berfikir. Menurut informasi, semua penghuni padang rumput mengungsi disana. Ada dua pohon besar yang berdiri bersebelahan di padang rumput itu. Dan memang setelah mendekat, aku bisa melihat jika memang ada dua pohon bersebelahan.
Beberapa dari mereka menyibak daun-daun dan keluar dari persembunyian. Aku bisa melihat bahwa mereka bukanlah makhluk bersayap sepertiku. Secara fisik dan ukuran, mereka sama denganku. Namun mereka tidak memiliki sayap.
Kakiku menjejak pada salah satu ranting pohon. Kemudian menunduk untuk memberi hormat kepada mereka. Narama melakukan hal yang sama.
“Kalian adalah Healer dan Conqueror yang akan mengatasi masalah di padang rumput ini?” suara merdu itu keluar dari seorang lelaki yang terlihat berwibawa. Aku rasa dia adalah pimpinan disini.
Aku menunduk memberi hormat untuk menjawab pertanyaannya.
“Masuklah. Ayahku menunggu kalian.” Katanya sambil menunjuk sebuah ruangan yang terbuat dari dedaunan. Pintunya terbuka. Ternyata lelaki itu bukanlah pimpinan seperti dugaanku.
“Ayah?” Narama membisikkan pertanyaan di telingaku setelah menyerahkan bungkusan besar makanan pada lelaki tadi yang belum kuketahui namanya.
“Aku rasa mereka dilahirkan. Bukan diciptakan seperti kita.”
Seorang lelaki yang terlihat tua menyambut kami di dalam ruangan dari dedaunan yang masih hijau itu. Ruangannya tidak besar, namun cukup untuk menampung sekitar 5 sampai 6 makhluk seukuran kami.
Aku dan Narama menunduk memberi hormat, bersamaan.
“Anakku akan mengurus bantuan makanan yang kalian bawa tadi. Terima kasih sebelumnya. Duduklah.” Ia menunjuk tempat duduk yang juga terbuat dari dedaunan. Ruangan itu terlihat menarik.
“Namaku Root.” Ia memperkenalkan diri. Nama itu terdengar aneh di telingaku. “Aku tetua sekaligus pimpinan disini.” Ia melanjutkan.
Narama mengangguk-angguk.
“Seperti yang kau lihat. Kami bukanlah makhluk abadi seperti kalian, kami menua. Dan kami harus melakukan perkawinan untuk menghasilkan keturunan.”
Aku rasa informasi itu tak perlu dikatakan. Tapi itu mungkin caranya untuk berbasa-basi sebelum memulai pembicaraan yang serius.
“Apakah ada korban akibat bencana ini?” pertanyaan pembuka yang bagus dari Narama.
“Banyak. Karena kami tidak pernah menduga hal ini akan terjadi. Sulit bagi kami untuk menyelamatkan diri saat bencana banjir itu datang. Air itu tidak datang perlahan seperti air hujan dari langit. Tapi air itu seperti ditumpahkan dari suatu tempat. Tumpah begitu saja. Untungnya saat itu siang hari, walau korbannya banyak. Namun masih banyak yang bisa menyelamatkan diri. Kami harus bersusah payah berenang dan memanjat untuk bisa bermukim disini.”
“Istriku meninggal saat kejadian itu. Aku tidak sempat menyelamatkannya. Keadaan sangat tidak terkendali saat itu.” Ada kesedihan mendalam yang tergambar dari raut wajah tuanya.