I'm Sorry...

Via S Kim
Chapter #5

Aku penasaran apakah ia memiliki perasaan yang sama

Root menyambut kami dengan senyuman hangat saat kami kembali. Ia ingin menyuruh kami istirahat dulu namun aku segera menyelanya. Matahari baru saja tenggelam, dan aku tidak ingin membuang waktu. Narama hanya tersenyum di sampingku, kali ini aku tak tahu apa arti senyuman itu.

Jadi di sinilah kami sekarang. Di ruangan Root. Hanya berempat, aku, Narama, Root, dan putranya - yang masih belum kuketahui namanya.

“Maaf sebelumnya, bolehkah aku tahu namamu? Jika kuingat, kita belum berkenalan dengan benar.” Narama membukanya dengan epik. Tidak lupa dengan senyum khasnya yang manis.

“Oh, maafkan. Namaku Leaf.” Dia sedikit menunduk ketika memperkenalkan diri.

‘Menarik’. Namanya unik.

“Namaku Narama, dan partnerku Eriva.”

Aku sedikit menunduk ketika Narama menyebutkan namaku, meniru cara Leaf tadi.

Narama memberikan isyarat padaku untuk memulai pembicaraan. Sepertinya Narama sudah mengerti jika aku tidak suka berbasa-basi terlalu lama.

“Area ini tidak luas. Tidak seluas dugaanku. Kebetulan area yang tergenang air, yang terkena banjir adalah area pemukiman kalian, rumah kalian. Banyak sekali area yang lebih tinggi di sekitar sini. Dan karena area ini lebih rendah, itulah sebabnya airnya menggenang disini.” Aku melirik Narama. Ingin tahu apakah aku melakukan pendekatan yang salah. Namun Narama tidak ingin menyelaku sepertinya. Jadi aku melanjutkan. “Jika kalian mau menunggu, airnya akan surut dengan sendirinya.”

“Butuh berapa lama?” Leaf menyela.

Sepertinya aku mulai melakukan kesalahan. Aku melirik Narama lagi. Tapi Narama memberiku isyarat untuk melanjutkan.

Aku meremas tanganku sendiri. “Sebenarnya, aku mempunyai ide. Tapi aku harus menjelaskan beberapa bagian dulu.” Aku memberi jeda, melihat apakah Leat atau Root akan menyelaku atau tidak. Ternyata tidak. “Kalau misalnya, aku dan Narama berhasil menyingkirkan air ini sekalipun, tapi karena struktur tanah disini memang rendah, ada kemungkinan jika banjir ini akan terjadi lagi. Kami tidak tahu kondisi bendungan atau kondisi sungai di wilayah manusia, jadi kami tidak bisa memastikan hal ini tidak akan terulang lagi. Untuk itu kami ingin menyarankan bagaimana jika kalian pindah saja? Ke tempat yang lebih tinggi.”

“Kalian tidak bisa melakukan sesuatu untuk mencegah hal ini agar tidak terulang lagi?” nada bicara Leaf sangat tenang. Namun ada kilatan tidak puas di matanya.

Aku memberi isyarat agar Narama yang menjawab.

“Sebenarnya bisa.” Narama menggigit bibir bawahnya, sepertinya sedang memilih kata. “Tapi kami sendiri tidak yakin apakah itu benar-benar bisa mencegahnya atau tidak. Dan untuk saat ini. Solusi paling mudah dan resikonya sedikit adalah dengan membawa kalian pindah ke tempat yang lebih aman.”

“Apakah kalian yakin jika kami pindah, tempat itu akan benar-benar aman?” kali ini Root yang bertanya.

Aku tersenyum. Sepertinya ideku tidak buruk. “Area padang rumput ini sebenarnya sangat luas. Banyak area yang tanahnya lebih tinggi. Dan menurutku tingkat kesuburan tanahnya sama. Jika mengenai keamanan. Jika kalian bersedia untuk pindah, kami akan memastikan jika area tersebut benar-benar aman. Kami akan membuat pembatas atau penangkal air agar jika sungainya meluap kembali, itu tidak akan merusak area tempat tinggal kalian.”

“Itu artinya kami harus meninggalkan area ini seperti ini?” Leaf tampak serius. Masih ada ketidakpuasan di matanya.

“Beberapa minggu kedepan, airnya akan surut dengan sendirinya. Tapi masalahnya bukan disana.”

“Aku tahu. Mencegah hal ini agar tidak terulang kembali. Kau sudah mengatakannya tadi.” nada bicara Leaf mulai tidak bersahabat.

“Kami harus mendiskusikan hal ini dengan seluruh penghuni area ini. Beri kami waktu. Sementara itu kalian bisa makan malam dan beristirahat. Jika sudah selesai, kami akan memberi tahu kalian.” Kata Root dengan bijaksana.

Aku ingin bertanya, berapa lama waktu yang mereka butuhkan, namun Narama buru-buru menggenggam tanganku. Aku segera menelan kembali kalimatku yang nyaris terucap.

“Kami akan kembali ke ruangan kami.” Narama masih menggenggam tanganku, mengajakku berdiri untuk berpamitan.

Lihat selengkapnya