“Apa yang kau obrolkan dengan Leaf?” Narama menyambutku dengan pertanyaan.
Ekspresi itu, aku tidak bisa menebaknya. Mengesankan, Narama memiliki ekspresi yang hampir semuanya mirip. Wajahnya selalu tampak tersenyum. Tapi saat ini bukanlah ekspresi marah.
“Dia hanya meminta maaf padaku.” Kalimatku berhenti di sana. Tidak tahu apa yang harus aku ceritakan. Juga sepertinya tidak ada yang perlu kuceritakan.
Narama mengangguk. Sebelah ujung bibirnya sedikit terangkat. Aku bingung harus bagaimana.
“Aku kira dia akan menyatakan perasaan padamu.”
Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku pura-pura menutup jendela. Padahal aku masih ingin mengintip langit dari jendela kecil itu. Suasana terasa canggung.
Aku menarik nafas, menenangkan diriku sendiri. “Aku biasa mendapat perhatian karena fisikku. Aku bisa mengatasinya.” Sepertinya kalimatku sedikit membingungkan.
Narama tersenyum tulus. “Iya, itu karena kau memiliki warna yang unik. Membuatmu tampak menarik.”
Unik? Aku suka pemilihan kata itu. Aku akui aku memang memiliki warna yang tidak biasa. Warna sayapku memang ungu. Namun ada sedikit gradasi warna pink. Rambutku juga memiliki warna yang sama. Bola mataku berwarna ungu terang. Jika terkena pendar sinar bulan akan tampak sedikit pink.
“Apa itu artinya kau juga tertarik denganku?” aku berjalan dan berdiri di depan Narama.
Ekspresi terkejut itu. Apakah aku benar?
“Tentu saja. Pesonamu tidak dapat ditolak.”
Aku mematung. Jawaban itu bukan seperti yang kubayangkan.
Aku menunduk. Menyadarkan diriku sendiri. Itu karena fisikku. Semua akan terpesona dengan fisikku kan? Narama belum mengenalku. Sama seperti aku yang langsung mengagumi Narama saat pertama kali bertemu.
“Kita harus segera istirahat kan?” aku mendekati Narama dan menyentuh pundaknya. Seperti kemarin malam, aku memercikkan serbuk ajaibku untuk menghangatkan tubuhnya.
Aku juga melakukannya pada diriku sendiri. Lalu pergi ke tempat tidurku.
.
.