Keandra melambai padaku saat melihatku masuk ke tempat makan yang ia pilih. Bukan di kantin. Ada tempat makan di dekat taman utama. Kami harus membayar jika makan di tempat itu. Bangsa kami juga memiliki alat pembayaran tentu saja.
“Narama yang akan membayar makanannya.” Begitulah yang Keandra katakan sebelum aku duduk.
“Kenapa harus aku?” Narama tidak siap akan serangan yang tiba-tiba.
“Hey....” Keandra mengayunkan tangannya di depan wajah Narama.
Aku tertawa saja melihatnya. Dalam hati aku setuju jika Narama yang akan di suruh membayar.
“Aku boleh memesan semauku kan?” aku bertanya untuk menggoda Narama.
Ia hanya menggaruk belakang lehernya. Aku tahu ia tidak bisa menolak.
Akhirnya kami memesan menu set, atas persetujuan Narama tentu saja. Aku hanya bercanda mengenai ‘memesan semaunya’.
Keandra sangat pandai menghangatkan suasana. Selama makan malam ia membuat banyak obrolan yang menyenangkan. Dan yang kuketahui akhirnya, ternyata Narama juga pintar melucu. Dia pribadi yang cukup menyenangkan. Selama ini aku cukup tertutup. Hanya bersama Lea dan Viola aku bisa menjadi diriku sendiri. Bahkan selama satu tahun aku berpasangan dengan Bayudra, aku tidak bisa akrab dengannya. Hubungan kami hanya sekedar untuk pekerjaan.
Kali ini aku merasa memiliki teman baru. Di hadapan Keandra dan Narama aku bisa menjadi diriku sendiri. Eriva yang ceria.
“Kau punya cukup orchid?” aku mengejar Narama yang akan membayar. Orchid adalah alat pembayaran kami.
“Tenang saja. Aku punya. Aku sudah menukarkan alat pembayaranku yang lama dengan orchid.” Narama tersenyum lebar.
Aku lupa jika alat pembayaran memang bisa ditukarkan dengan nominal yang sesuai. Karena Narama baru pindah, aku tadi berfikir jika Narama mungkin tidak memiliki cukup orchid untuk membayar makanan. Ada perbedaan alat pembayaran di Fairy realm dengan kampung halaman Narama.
.
Paginya aku mendapat misi darurat. Narama mengetuk-ngetuk pintu ruanganku bahkan sebelum matahari menampakkan dirinya. Ia sudah memegang surat misi.
“Viola mengantarkan ini tadi ke ruanganku. Kita harus segera berangkat.”
Badanku lemas. Aku memasang wajah memelasku. Narama menyunggingkan senyum menenangkan. Mengelus pundakku sekilas. Menyuruhku segera berkemas.
“Viola memberi kita bungkusan makanan?” aku keluar dari ruanganku dengan bibir manyun. Aku sudah selesai bersiap, walau saat ini aku sangat malas. Aku sudah membayangkan akan bersantai di dekat air mancur di taman utama pagi ini setelah sarapan di kantin. Dan semua anganku hancur sudah.
“Iya. Untuk sarapan dan makan siang.” Narama memamerkan bungkusan yang ia bawa.
“Lokasinya jauh ya?”
“Lumayan.” Ia menyerahkan kertas misi padaku.
Aku membacanya sekilas. Tidak banyak informasi di sana. Misi darurat tidak seperti misi yang biasa kami terima. Tidak ada pengarahan, tidak ada penjelasan detail. Kami hanya harus segera pergi ke lokasi misi, dan segera menyelesaikannya. Seperti namanya, darurat. Satu-satunya informasi yang ada hanyalah denah lokasi. Ya, kurasa itu cukup.
Tidak ada hambatan apapun di jalan. Tidak ada hujan lebat, tidak ada serangan makhluk apapun. Jika terik matahari dihitung sebagai hambatan, aku ingin menyebutkannya. Kami harus berhenti beberapa kali karena cuaca sangat panas saat siang hari. Panasnya seakan ingin membakar sayap juga kulitku. Aku terus mengeluh sepanjang perjalanan. Narama hanya tertawa, sesekali juga ikut menimpali keluhanku. Dulu saat bersama Bayudra, ia pasti sudah mengomeliku karena mengeluh. Kenapa aku sering membandingkan Narama dengan Bayudra? Aku harus berhenti melakukannya.
“Oh ayolah. Masih sejauh apa?” ini keluhanku untuk kesekian kalinya. Kulepaskan gandengan tanganku dengan Narama. Melemaskannya.
“Eeeem, mungkin kau harus mengeluh setidaknya 2 sampai 3 kali lagi, baru kita akan sampai.” Narama tertawa.
Aku memanyunkan bibirku mendengar leluconnya itu.
“Sialan.” Itu adalah kata pertama yang aku ucapkan ketika sampai di lokasi.