Jason telah memindahkan Sophie. Entah sejak kapan. Aku mengikuti jejak samar dan mengandalkan instingku. Sebenarnya insting mengintai seorang healer tidaklah lebih hebat dari insting seorang conqueror. Tapi aku tidak bisa mengandalkan Narama sekarang. Aku harus bergerak sendiri.
Aku mengikuti jalan arah Jason pergi semalam. Terbang dengan cepat namun tetap memfokuskan penglihatan. Aku tidak mau ada yang terlewat dari pengamatanku.
Masuk ke pinggiran hutan, aku mengambil jalan setapak yang berlawanan arah dengan danau tempat para healer biasa melakukan misi. Aku masih mengandalkan instingku. Tidak mungkin Sophie dibawa ke danau itu lagi.
Belum terlalu masuk aku ke dalam hutan, aroma itu menguar. Aroma milik Sophie. Pepohonan di sana belum terlalu rapat. Dan aroma itu benar-benar memenuhi udara. Sophie ada di tempat terbuka.
Tidak ada apapun yang terlihat. Tidak ada jejak yang bisa kulihat. Langit masih gelap. Hanya ada pepohonan di sekeliling. Aku bahkan tidak melihat ada serbuk-serbuk sihir yang tertinggal. Tapi mengapa aroma milik Sophie tercium sangat kuat?
“Sepertinya aku perlu menggunakan teknik kupu-kupu.” Aku mulai mengangkat jari telunjukku ke udara. Memutarnya melingkar mengahadap ke atas. Konsentrasi. Dan muncullah kupu-kupu yang terbentuk dari serbuk sihirku. Berwarna kuning emas, bersinar.
“Pergilah! Cari Sophie! Kembalilah jika kau sudah menemukannya.”
Kupu-kupu emas itu terbang menjauh. Mengikuti perintahku. Satu lagi teknik khusus milikku yang belum banyak diketahui. Aku bisa membuat makhluk hidup buatan yang bekerja mengikuti perintahku. Sayangnya teknik ini membutuhkan energi yang lumayan besar. Semakin lama aku menggunakannya, semakin banyak tenaga yang harus aku keluarkan.
Kupu-kupu buatanku terus menelisik bagian-bagian bawah pepohonan. Terbang di antara rerumputan yang cukup tinggi. Aku sendiri terbang di antara ranting-ranting pohon yang tidak terlalu lebat. Tidak lama, kupu-kupu emas buatanku terbang mendekat. Ia hinggap di punggung tanganku yang terjulur. Lalu ia pecah seperti gelembung air.
Tak. Informasi itu menjalar dari tanganku menuju otak. Seperti membisikkan kalimat. Sophie ada di bawah pohon dengan bunga anggrek yang menjalarinya. Ada tidak jauh dariku. Aku terbang lurus menuju pohon itu. Lalu menukik kebawah dengan cepat. Benar aku melihat sesuatu bergerak di tengah cahaya remang.
“Oh tidak.” Aku cukup terkejut melihat sosok Sophie yang tak pernah kubayangkan. Kututup mulutku sendiri. Mataku sekarang terbelalak menatap Sophie.
“Sophie? Benar kau?” suaraku bergetar. Aku menahan tangis.
Gadis itu mengangguk lemah. Matanya merah.
“Maafkan aku. Aku sangat terlambat.” Aku menghambur memeluknya. Aku tak kuasa menahan air mataku.
Tubuh Sophie sangat dingin. Bekas darah di punggungnya sudah mengering. Tidak ada luka tertinggal karena sepertinya Sophie menyembuhkan dirinya sendiri dengan sisa tenaga.
“Dingin.” Ia merintih di dalam pelukanku.
“Sebentar.” Aku bergegas mencari daun yang cukup lebar. Menaburkan serbuk sihir untuk mengubah daun itu menjadi lebih halus dan lentur agar bisa menyelimuti tubuh Sophie yang menggigil.
Kuselimutkan daun itu pada tubuh Sophie, lalu kurangkul pundaknya untuk membawanya terbang bersamaku.
“Kau harus segera mendapat perawatan.” Aku berbisik di telinganya. Lalu Sophie menyandarkan kepalanya di pundakku. Ia terlihat pasrah dan percaya padaku, padahal ini adalah kali pertama kami bertemu. Mungkin karena kondisinya yang begitu lemah hingga ia tak memiliki tenaga untuk menolak atau merasa tak nyaman.
Dengan keterbatasan teknik penyembuhanku. Aku tetap memercikkan serbuk sihirku melalui pundaknya. Setidaknya aku memberikan rasa hangat agar ia tak terlalu menggigil.