I'm Sorry...

Via S Kim
Chapter #27

Flood, Rain, and Storm

Perjalanan panjang ini dimulai. Setelah menjalani pelatihan menyelam, berenang cepat, perlawanan dan penyerangan dalam air, membuang racun, dan banyak lagi. Akhirnya kami diberangkatkan untuk misi.

Selama masa pelatihan, Lea sempat berkunjung, sebelum ia berangkat untuk misi. Keandra yang sering sekali menengok kami. Di sela jadwalnya yang padat, ia selalu menyempatkan waktunya untuk menyapa kami. Winter juga sempat datang. Tapi sepertinya Narama tahu jika aku tak menyukai Winter. Jadi Narama melarang Winter untuk datang lagi. Dan sepertinya Winter juga sadar jika aku tak menyukainya. Ia sempat menatapku memelas sambil memanyunkan bibirnya, membuat wajah imut untuk meluluhkanku. Namun aku tidak peduli. Walau kuakui wajahnya memang imut.

Sebenarnya pelatihan ini cukup memakan waktu. Walau hanya beberapa hari, namun ini membuat lokasi misi kondisinya semakin memburuk karena kami tidak segera pergi. Tim pengarah mengatakan jika ada makhluk lokal penghuni tempat itu yang sekarang masih melindungi wilayahnya agar tidak semakin memburuk. Namun aku tidak yakin mereka sanggup mengatasinya. Sementara aku dan Narama masih harus menempuh perjalanan setidaknya satu purnama untuk sampai di sana. Misi ini akan sangat melelahkan dan merepotkan.

Salah satu tetua menemui kami satu hari sebelum keberangkatan. Ia membawa pesan dari sang Ratu.

“Kalian telah membuat bonding, setelah ini kekuatan kalian akan berada di level yang berbeda. Namun, aku mohon jangan ikat hubungan kalian dengan tali darah. Untuk saat ini, berhati-hatilah. Aku berharap banyak dari kalian.” Itulah isi pesan dari sang Ratu.

Kami menunduk dalam pada tetua setelah mendengar isi pesan dari Ratu Renata. Kemudian Viola dan tim pengarah lainya mengantarkan kami hingga gerbang Fairy realm. Sebenarnya aku berharap melihat wajah Keandra sebelum berangkat, namun sepertinya ia ada misi yang harus dikerjakan.

“Mencari siapa?” Narama menyadari kegelisahanku.

“Bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin melihat Lea atau Keandra sebelum berangkat.” Aku hanya ingin melihat wajah teman-temanku.

“Tidak biasanya kau seperti itu.”

“Entahlah. Tiba-tiba saja aku merindukan mereka.”

“Kalian tidak akan berlama-lama kan? Kenapa tidak segera berangkat?” kalimat Viola seperti tanda pengusiran.

“Dasar tidak sabaran.” Aku memanyunkan bibirku.

Narama tersenyum melihatku, kemudian mengambil inisiatif untuk berpamitan. Ia menundukkan badannya memberi salam, membuatku reflek mengikuti gerakannya. Kemudian ia yang meraih tanganku lebih dulu, mengajakku segera terbang pergi. Aku masih sempat melihat Viola melambai pada kami.

###

Pada hari-hari pertama perjalanan, hampir tidak ada hambatan. Kami terbang sedikit tinggi jika cuaca tidak teralu terik. Terbang rendah jika di atas sedang berangin. Kami selalu istirahat makan tepat waktu. Juga istirahat tidur dengan perkiraan waktu yang sama. Sejauh ini kami belum sampai mencari makanan, karena perbekalan kami masih cukup. Namun sesekali jika kami melewati pohon yang memiliki buah yang bisa kami makan, kami berhenti sejenak untuk memetiknya dan memasukkan dalam kantong makanan kami.

Ada banyak sisi diri Narama yang baru kuketahui di perjalanan kali ini. Setiap kami berhenti untuk istirahat makan atau istirahat malam sebelum tidur, Narama selalu bersemangat menceritakan banyak hal. Ia juga pintar memancingku untuk banyak bicara. Juga yang paling kusukai darinya adalah, caranya membuat lelucon. Menurutku caranya melucu sungguh unik dan tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Bahkan tak pernah kubayangkan jika Narama akan melakukannya. Seperti ketika istirahat malam kemarin, tiba-tiba ia bertanya padaku ‘Kira-kira apa yang bisa membuat burung hantu, kelelawar, dan segala makhluk malam terpukau hingga berhenti bersuara dan beraktivitas?’. Saat itu aku hanya menggeleng karena tidak sanggup memikirkan jawabannya. Dan tiba-tiba saja ia berdiri, bergaya di bawah sinar rembulan, membuat siluet tubuhnya semengagumkan mungkin, kemudian ia menyibak rambutnya kebelakang dengan salah satu tangan. Ia tersenyum miring, membuat ekspresi setampan mungkin. Aksinya itu sukses membuatku menyemburkan minuman yang kuminum. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sungguh aku benar-benar tidak menyangka ia bisa sepercaya diri itu.

“Kau benar-benar percaya diri jika kau setampan itu?” tanyaku saat itu setelah tawaku mereda.

“Tentu saja. Apalagi setelah kau memujiku jika parasku nyaris sempurna.”

Lihat selengkapnya