Capung-capung itu memiliki taring. Matanya bulat besar, menonjol dan mengkilat. Mulutnya yang bertaring itu terbuka, menyeringai. Lendir dari mulutnya menetes. Dan ketika lendir lengket itu mengenai kelopak bunga di bawahnya, kelopak bunga itu langsung meleleh. Kemudian menjalar ke bagian yang lain, membuat seluruh bagian tanaman sempurna meleleh. Berubah menjadi abu.
Mendadak gemuruh tanaman berhenti. Tanaman-tanaman itu berhenti mengamuk. Sekarang digantikan oleh dengungan capung. Bahkan kupu-kupu yang tadi asik beterbangan kini memilih untuk hinggap pada bunga-bunga. Sekarang kawasan udara sepenuhnya diambil alih oleh kawanan capung.
Narama menarik lenganku, menyuruhku untuk berlindung di balik punggungnya. Aku tahu jika aku tidak akan membantu banyak dalam melawan capung-capung itu. Namun membiarkan Narama berjuang sendirian itu kejam.
Nguuuuunnng.
Bum.
Satu capung yang paling dekat dengan kami dipukul mundur dengan pukulan angin oleh Narama.
Nguuuunng, nguuuuung. Dua lainnya mendekat. Bum bum.
Dipukul mundur lagi dengan pukulan angin.
Dua, tiga, empat, kami kini dikepung. Dari berbagai arah. Narama memfokuskan penglihatan juga pendengarannya. Matanya awas memperhatikan depan, kanan, kiri, belakang. Tangannya sibuk memukul mundur capung-capung itu.
Aku menjaga jarak yang pas dengan Narama. Tidak jauh darinya, juga tidak terlalu dekat. Aku berusaha tidak membuatnya terganggu dengan keberadaanku. Sementara aku sibuk memikirkan cara untuk meloloskan diri.
Sesekali satu dua capung lolos dari pukulan Narama, aku membantu sebisaku. Dengan pukulan anginku yang hanya membuat geli capung-capung itu. setidaknya itu memberi waktu bagi Narama untuk kembali memukulnya dengan pukulan anginnya.
“Awas!” Narama menyeretku untuk menghindari tetesan liur capung yang menetes di atas kepala kami.
Kami lupa tidak memperhatikan atas. Ternyata sudah ada capung yang mengepung kami di atas. Itu lebih menyeramkan. Tetesan liurnya dapat melelehkan tubuh kami. Kami terdesak.
“Kau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengulur waktu Eri?” Narama bertanya sementara tangannya masih sibuk memukul mundur capung-capung yang paling dekat dengan kami.
Aku mengikuti gerakan Narama agar tidak terpisah darinya. Memukul dan menghindar. Hanya soal waktu kami akan kalah.
Sedari tadi aku memperhatikan sepertinya Narama meredam kekuatannya agar tidak sampai membunuh capung-capung itu. Sama seperti ketika tadi melawan katak, ia juga tidak membunuhnya, hanya membuat mereka pingsan.
“Aeroramapara!” aku merapalkan mantra untuk membentuk gelembung transparan. Terbentuk dari air dan udara. Aku menyerap air dari tumbuhan dan udara di sekitar untuk menciptakannya. Gelembung tersebut lentur namun kokoh, berwarna keunguan. Sekarang aku dan Narama ada di dalam gelembung yang aku buat.
Mendadak capung-capung tersebut kebingungan. Mereka masih mengepung kami namun tidak ada yang bergerak mendekat.
Gelembung yang kubuat bergetar, terkena tetesa liur capung dari atas. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Liur tersebut tergelincir jatuh ke tanaman di bawah kami. Sekali lagi aku melihat tanaman itu meleleh dan berubah menjadi abu.
Aku kembali mendongak, dan sekali lagi gelembungku terkena tetesan liur capung. Liur itu jatuh di area gelembung yang sama, dan kali ini gelembungku mulai berasap.
“Aeroramapara!” aku melapisi gelembungku lagi. Peluhku menetes.