“Aaaaaarrhhhhh.” Aku mengerang dengan kencang saat jari Ugas menyentuh perutku. Rasanya seperti terbakar. Menjalar ke seluruh bagian tubuhku.
“Eeeerrggg.” Eranganku mulai tertahan. Rasa sakitnya bertambah, membuat eranganku hanya sampai di tenggorokan. Aku menepis tangannya saat aku merasa rasa sakit itu sudah tidak tertahankan.
Tapi tepisan tanganku ternyata tidak terlalu kuat. Tidak membuat jari Ugas yang menempel di perutku tergeser sedikitpun. Justru sekarang ia yang menepis tanganku.
Eranganku benar-benar tertahan. Aku hanya mampu menggeliat kesakitan.
Narama yang sepertinya tidak tega melihatku yang kesakitan mulai menyentuh pundakku, dengan maksud menenangkan. Ia menggigit bibir bawahnya.
Seluruh sel tubuhku terasa terbakar. Tulang-tulangku terasa diremukkan. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa sakitnya. Tapi ini benar-benar sakit. Mungkin sekarang aku juga sedang menangis. Aku tidak tahu seberapa buruk keadaanku saat ini. Tapi aku masih bisa merasakan sentuhan Narama di pundakku, juga ia yang sedang merapikan anak rambut di dahiku yang berkeringat.
Sebenarnya tidak lama, sampai Ugas melepaskan jarinya yang ia tempelkan pada perutku. Dan setelah itu aku merasa tubuhku jauh lebih baik. Bahkan rasanya lebih segar daripada pertama aku berangkat untuk misi ini. Proses penyembuhan yang luar biasa. Semua lelah juga sakitku seperti menguap. Yang tersisa hanyalah rasa lapar. Hingga perutku berbunyi nyaring. Dan saat itu aku sudah lupa apa itu malu. Wajahku mengekspresikan bahwa aku sangat lapar.
Narama menatapku sambil tersenyum. Kemudian dia memegang perutnya sambil menatap Ugas dan Agus bergantian. Memberi bahasa isyarat bahwa kami sekarang sedang lapar. Kemudian Agus mengangguk-angguk dan memberi istyarat untuk menunggu. Dan ia pergi keluar. Aku harap ia kembali membawa makanan.
Aku duduk dan berterimakasih pada Ugas, dengan bahasa isyarat. Ia tersenyum dan mengangguk, kembali mengusap janggutnya. Kegiatan yang sempat terhenti saat ia mengobatiku. Lalu ia pergi menuju kursinya yang berada di dekat pintu masuk, kembali duduk di sana.
“Walau bahasanya berbeda, ternyata bahasa isyaratnya tetap sama.” Narama mengulum senyum.
Aku ikut tersenyum bersamanya. “Kau lelah kan?”
Narama mengangguk, jujur.
Aku menepuk ruang kosong di sampingku, dan ia mengambil duduk di sana.
“Kita sudah menghabiskan banyak waktu kan?”
Narama mengangguk.
“Kita lanjutkan perjalanan setelah makan dan tidur sebentar.”
Narama mengangguk lagi. Ia merapikan anak rambutku. “Kau sudah pulih kan?”
Aku tersenyum tipis.
“Tapi Eriva, kita tidak bertemu dengan ular itu di hutan malam.” Narama mengingatkanku dengan hal tersebut.
“Aku bertemu dengannya.” Kurogoh kantong darah yang kusematkan di pinggangku. Aku menyematkannya di antara dua lapisan rok bajuku.
“Kau bertemu dengannya?” Narama nyaris tak percaya.
“Oh astaga.” Aku membekap mulutku karena berteriak terlalu nyaring. Ugas sampai melihat ke arah kami. Aku menunduk meminta maaf.
“Ada apa?” Narama penasaran.
“Lihatlah!” kuperlihatkan benda yang kuambil dari kantong darah. Benda itu adalah kalung dengan liontin sayap. Potongan sayap milik Sophie kini sudah terbingkai cantik dalam lapisan tipis transparan yang kuat, menjadi liontin sebuah kalung.