“Monster yang kau maksud itu apakah yang menyebarkan racun kuning?”
Aku menutup kembali mulutku yang hampir terbuka. Narama sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang sama yang ada di otakku.
“Benar. Ia memiliki semacam tali di kepalanya dan ada bulatan di ujung tali tersebut. Dari bulatan itulah keluar racun kuning.” Salvador menyesap minumannya.
“Apakah racun kuning tersebut keluar karena terpicu oleh sesuatu? Maksudku seperti cumi-cumi yang mengeluarkan tinta hitam ketika merasa terancam. Apakah monster yang kau maksud itu juga mengeluarkan racun karena terpicu oleh sesuatu?” aku bertanya panjang lebar.
Salvador menggeleng. Ia bahkan tidak terlihat berfikir. “Aku rasa tidak. Monster itu mengeluarkannya begitu saja. Tidak setiap saat memang. Namun menurut pengamatanku, itu seperti cairan pembuangan. Maksudku hanya seperti keringat atau urin.”
“Jika itu hanya seperti keringat atau urin, mengapa itu beracun? Sebelum monster itu kemari, ia pasti tinggal di suatu tempat. Dan ia juga pasti mengeluarkan cairan itu di sana. Tapi apakah di sana cairan tersebut juga beracun? Jika kenyatannya seperti itu, semua makhluk hidup akan mati jika tinggal di perairan yang sama dengannya. Dan bukankah ia pada akhirnya akan mati juga karena tidak mendapat makanan?” Narama mengerutkan keningnya.
Aku tahu apa yang Narama maksudkan. Namun sekarang aku jadi pusing karena membahas cairan kuning itu.
Kami merenung sejenak. Aku mengamati minuman di cangkir yang tinggal separuh. Kira-kira sihir apa yang membuat cairan minuman itu tidak tercampur di air? Dan kenapa saat aku meminumnya, aku juga merasa tidak menelan air danau? Aku hanya merasa meminum minuman itu tanpa tercampur air padahal sekarang aku berada di dalam air. Danau ini airnya asin, karena lokasinya yang sangat dekat dengan laut. Laut terbesar di dunia para peri. Bagi makhluk darat sepertiku, sepertinya rumus sihir di dunia air tidak masuk ke dalam otakku sama sekali.
“Bukankah ini ada kaitannya dengan mantra sihir? Atau rumus sihir yang kalian gunakan.” Aku memecah keheningan. “Monster itu tidak berasal dari tempat ini kan? Maksudku, mungkin saja tempat ia berasal memiliki mantra sihir yang berbeda. Tempat di mana ia bebas membuang urin di mana saja namun tidak membuat airnya jadi beracun. Berarti solusinya kita hanya perlu mengembalikannya ke habitat aslinya. Setelah itu baru kita urus tempat ini.”
Salvador dan Narama diam. Sepertinya memang apa yang kukatakan adalah sesuatu yang sama yang ada di benak mereka. Intinya apa yang aku katakan tidaklah berguna.
“Aku tidak bisa mengatasi racun kuningnya. Itu sangat pekat dan membuat semua jalan tertutup. Tempat ini adalah yang paling aman.” Ada kesedihan dari sorot mata Salvador saat mengatakan kalimat itu.
“Kau tidak bisa mengatasi racun kuningnya walau sedikit?” Narama bertanya dengan nada yang lembut.
Walau sebenarnya kalimat tersebut bisa saja menyakitkan jika diucapkan dengan nada yang salah, namun karena Narama yang mengatakannya, kalimat itu jadi terdengar tidak menyakitkan.
“Tidak sama sekali.” Salvador menunduk dalam.
Aku menggigit bibir bawahku. “Aku ingin meminta maaf sebelumnya. Kita, maksudku aku dan Narama tidak akan bermalam di sini kan?” aku ingin tahu apakah Salvador menyiapkan tempat untuk aku dan Narama di daratan atau tidak. Aku tidak bisa bernafas dalam air saat tidur.
“Tentu saja tidak.” Gadis cantik itu seperti tersadar dan teringat oleh sesuatu. “Aku sudah menyiapkan tempat tinggal untuk kalian di atas sana. Ayo aku antarkan.” Ia segera bergegas untuk memandu kami.
Kami keluar lagi dari dalam gelembung. Dan itu masih menakjubkan untukku. Bunyi ‘Blub’ saat kami melewati dinding gelembung transparan, menjadi candu di telingaku.
Kami melewati air dengan cairan kuning beracun. Aku tidak perlu khawatir karena serbuk sihir yang keluar dari pori-poriku menyingkirkan racun kuning itu dengan mudahnya. Narama masih bisa mengatasi racun kuning dengan serbuk sihir yang ia tabur-taburkan. Kurasa Narama membutuhkan banyak sekali serbuk sihir untuk misi besok.
Sementara Salvador entah menggumankan apa, ia seperti membaca mantra yang terdengar seperti nyanyian. Lirih namun merdu. Dan racun kuning itu menyingkir darinya.
###
Tidak jauh dari tepi danau, Salvador membawa kami ke salah satu pohon. Di batang pohon tersebut terdapat beberapa pintu. Tidak sama dengan rumah tinggal kami di Fairy realm yang dibuat menempel pada batang pohon, rumah di sini justru berada di dalam batang pohon. Menarik.
“Ini sebenarnya rumah para makhluk bersayap yang tinggal di taman ini. Namun mereka pergi mencari tempat tinggal baru karena air danau yang tercemar. Sumber air mereka tercemari. Mereka membawa makhluk yang lain bersama mereka.” Jelas Salvador. Membuka salah satu pintu di batang pohon tersebut.
“Mereka meninggalkan rumah-rumah mereka begitu saja?” aku penasaran.
“Mereka makhluk yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Mudah bagi mereka untuk berpindah-pindah tempat.” Kaki Salvador menjejak lantai di rumah itu. Tanpa alas kaki.
Saat keluar dari air, ekor Salvador berubah menjadi kaki. Dan ia juga memiliki sayap, berwarna pink. Ia berjalan dengan anggun. Namun aku menangkap sedikit keganjilan dengan caranya berjalan. Terkadang dia sedikit bingung untuk mengangat kaki kanan atau kirinya. Walau kekikukannya tersebut tertutupi dengan keanggunannya, namun mataku masih bisa menangkapnya. Salvador tidak biasa berjalan dengan dua kaki. Ia lebih sering berada di air, berenang menggunakan ekornya.