I'm Sorry...

Via S Kim
Chapter #40

What Should I Do?

Aku dan Narama terus berenang menuju danau merah. Melewati celah bebatuan dan terumbu karang yang bentuknya sangat tidak biasa. Celah itu tidak bisa kukatakan jalan sempit karena nyatanya monster itu tetap bisa melaluinya dengan leluasa. Narama lebih sering menengok ke belakang untuk mengirim pukulan angin. Pukulan angin itu kian lama kian bertenaga, berbanding terbalik dengan energi Narama yang kian terkuras. Aku sudah dua kali meniupkan serbuk sihir untuk membantunya bernafas.

“Eriva, sepertinya aku sudah tidak tahan lagi.”

Belum sempat aku mengerti apa yang Narama katakan, ia sudah melepas genggaman tangannya dariku. Ia berbalik menghadap monster itu, yang anehnya bulatan di ujung tali monster itu sudah mengecil. Entah sejak kapan. Dan setelah kuperhatikan, monster itu juga sudah tidak seganas sebelumnya. Sepertinya ia juga sudah lelah, dan mungkin juga sudah terlalu lapar.

Melihat mata Narama yang berkilat marah saat menatap monster itu, entah mendapat dorongan dari mana, tiba-tiba aku memunculkan teknik lapisan es tipis untuk melindungi tubuhku juga Narama. Lapisan tersebut seperti lapisan gelembung namun lebih elastis dan juga terasa dingin, membungkus tubuh kami berdua. Teknik tersebut muncul begitu saja.

“Vatramara!” narama meneriakkan mantra tersebut dengan keras. Kedua tangannya menghadap ke depan.

Satu pukulan angin yang sangat dahsyat dan juga disertai energi panas yang luar biasa.

“IIIIiieeeeeeggghhhh.” Rintihan kencang itu benar-benar memekakkan telinga.

Karena efek pukulan angin Narama yang sangat kuat tersebut, aku sampai terdorong ke belakang. Bahkan Narama sendiri yang mengeluarkan teknik tersebut juga ikut terdorong.

Walau aku sudah melapisi tubuhku dengan lapisan es, energi panasnya masih bisa kurasakan. Dan lapisan es tersebut hancur setelah beberapa saat.

“Kau tidak membunuhnya kan?”

“Aku hanya melumpuhkannya.”

Monster ikan itu diam tidak bergerak seperti mati. Matanya juga terpejam. Namun mulutnya menganga lebar.

“Kita hanya perlu membawanya menuju danau merah. Sedikit lagi kita sampai.” Narama melemparkan tali panjang. Ia barusaja mengeluarkannya dari kantong yang ada di pinggangnya.

Tali panjang tersebut membelit tubuh sang monster. Narama melilitkan ujung tali di tangannya sendiri. Ia akan menarik monster ikan yang sedang pingsan tersebut.

“Kau bisa berenang cepat dengan satu beban tambahan bukan?” Ia mengulurkan tangannya padaku. Kali ini tidak ada senyuman sama sekali di wajahnya. Dan aku lebih lega melihatnya seperti itu.

Aku mengangguk.

Akhirnya kami berenang dengan menyeret monster menyebalkan itu. Namun walau terlihat seperti aku yang berenang cepat membawa Narama dan monster itu, nyatanya aku tidak merasa terbebani sama sekali. Narama menyeret tubuh monster ikan tersebut dengan teknik khusus sehingga aku tetap berenang dengan leluasa seperti tidak membawa beban apapun.

Dan pintu menuju danau merah akhirnya terlihat. Perasaan yakin itu tiba-tiba saja muncul. Tidak bisa dijelaskan.

“Kita membawanya ke tempat yang benar.”

Narama mengangguk. Ia mulai melepaskan tali yang mengikat tubuh sang monster.

Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa pintu danau merah. Hanya berupa bongkahan batu yang longsor atau apapun itu istilahnya. Membuat celah yang lumayan lebar.

Cahaya matahari sore samar masih bisa membuatku melihat bagaimana merahnya air danau di tempat itu. Sebenarnya bukan airnya yang berwarna merah, namun jenis batuan, karang, dan ganggang di danau tersebut yang berwarna merah. Membuat airnya seolah berwarna merah.

“Kita dorong makhluk ini menuju ke sana.” Kata Narama.

Aku dan Narama berenang ke belakang tubuh besar monster itu. Saat aku berenang tepat di samping tubuh besarnya, aku mulai mengamati detail tubuh monster tersebut dengan seksama. Sisiknya yang berwarna hitam seperti baja, siripnya yang memiliki bulu-bulu seperti duri, tali panjangnya yang sekilas terlihat seperti tubuh ular, juga bulatan di ujung tali yang ternyata memiliki katup seperti anus. Sepertinya memang bulatan tersebut adalah kantong pembuangan. Bulatan itu sekarang mengempis seperti balon yang sudah kehabisan udara. Kapan bulatan itu mengeluarkan cairan kuningnya?

Lihat selengkapnya