Sudah sangat maklum dengan sifat Lisa yang sekaku kanebo kering. Lisa itu tau cara bagaimana dia harus berhadapan dengan kempok sosial, penerapan dalam sikap saja yang salah. Lisa tau, ini tidak benar. Namun, kebiasaan lingkungan meruntuhkan dinding pertahannya.
Coba tengok era sekarang. Bahasa dimodif sedemikian rupa mengikuti peremajaan jaman , terlebih oleh anak pucuk daun serupa Lisa. Untuk itu, Lisa masih bisa tolerir. Bergaul dengan teman akhlakless sekelas XI A-1 membuat ‘penyakit akut remaja masa kini’ menularinya.
Banyak puisi kata yang baru-baru ini Lisa tangkap. Saat SMP dulu ia memang sudah sering memergoki teman mengucapkan kalimat tak sepadan dengan tata karma yang orangtua ajarkan. Namun, untuk sekarang umpatan saja rasanya sudah menjadi hal lumrah. Entah tersapu ke mana nilai nilai kesopanan pada diri Lisa.
"Lis, dikit ya!" pinta salah seorang teman perempuannya. Bukan pinta, lebih tepat dikatakan paksa. Belum Lisa memberi izin tapi sudah dibawa pergi. Kalau pinta itu takkan merampok saat tuannya belum menurunkan pengesahan.
Lisa tidak se-Qarun itu, ini hanya semacam perasaan tidak pas saja. Dia bak putri malu, orang lainharam hukumnya menyentuh barang milik Lisa sembarangan, "Ya! Katanya sedikit tapi penuh di genggaman tangannya an-," tukas Lisa lirih.
Jangan kaget. Lisa sudah lancar melafalkan najis kata sejenis itu. Lisa yang polos telah bertransformasi, kertas kosong yang kini penuh rangkai huruf. Tapi bukan berarti Lisa ini sudah tidak polos lagi. Ada banyak sisi untuk melihat sifat dan sikap bukan?
"Nde. Lisa! Kemarilah. Ambil hp milikku dan ambillah beberapa foto dari kami," perintah Dayun, teman sekelas Lisa.
Padahal satu kelas ini sudah tau bagaimana sifat Lisa. Tapi Dayun masih saja berkelakuan. Mungkin memorinya tersiram deterjen hingga noda karya Lisa dulu bukan lagi pudar, sudah hanyut tergilas.
Lisa menolak, "Bayarlah saja seseorang. Bukankah kau mengaku anak orang kaya?"
Beberapa anak terpingkal menyorak setuju pada penuturan Lisa karena tak jarang menjadi korban pelecehan kasta oleh Dayun, seperti terekam pada Lisa tadi dan banyak juga yang berdecak ingin segera difoto. Sana misalnya yang menimpali, "Belagu sekali gayamu."
Lisa kesal, benar-benar kesal melebihi kesalnya saat menghabiskan 10 menitnya mendansakan plan, tapi memilih diam. Untuk apa dia meladeni apalagi menyedekahi orang yang sering memuji dengan olokkan? Sama sekali tidak membuahkan untung untuknya. Jadi membantu pun hanya sia-sia membuang tenaga. Tidak akan ada penghargaan yang diterima.
Lisa adalah anak yang suka menerobos plang norma sebenarnya. Sayangnya ada masa tertentu yang menahan kobar menggebunya. Fakta menjengkelkan dari dirinya yang tak dapat ia sangkal misalnya. Atau lebih didominasi oleh kemalasan untuk mencekal?
Bagaimana tidak? Lisa memandang teman-temannya sangat alay di balik munafik. Hello? Sudah SMA tapi masih merayakan ulang tahun dengan cover membawa kue ulang tahun, namun ujungnya tempur bahan adonan roti? Oh, no. Itu bukanlah style Lisa sekali. Childishlah pada tempatnya. Lisa tidak akan berpartisipasi dalam hal-hal seperti itu.
"Lis, kau belum membayar iuran," ujar seorang rentenir kelasnya, makhluk paling dihindari oleh umat pelajar.
"Iuran apa? Aku selalu tepat waktu, tolong."
Gadis yang memegang kasta kebendaharaan kelas itu memutar bola mata, "Hari ini ulangtahun Lee Na yang ke-17. Jadi kita akan memberi kejutan untuknya."
"Oh, begitu. Maaf aku tidak berkenan."
Egois? Jangan dulu berburuk sangka. Kau tau apa tentang yang sudah Lisa alami. Musim perang bahasa jadi padanan yang pas untuk melukiskan dunia hari ini. Apa saja disalah makna.
"Chah. Ini hanya 10 ribu apakah uang jajanmu tidak lebih dari 5 kali lipatnya?" seru si gadis.
Lisa malah tidak berpikir ke arah situ, "Tentu saja uangku cukup bahkan untuk membiayai seluruhnya. Masalahnya aku tidak akan ikut merayakannya dan aku tidak mau bayar."