I'm a Writter, Not an Actress

meoteaas
Chapter #9

9. Permulaan

Keinginan Eomma sudah Lisa ikuti. Lisa melakukan apa yang semestinya ia lakukan sesuai kemauan Eommanya itu. Jadi tidaklah salah kalau Lisa ingin mengikuti kemauannya kali ini, bergantian. Sudah sejak lama Lisa ingin melakukan apa yang dia suka, hanya saja terlalu tinggi bila harus memanjat tembok berkawat buatan Eomma.

Banyak hal yang dia gilai di samping yang dibenci. Lisa sangat menyukai waktu belanja meski malas mengantri untuk mengesahkan pemindahan kepemilikan belanjaannya. Lisa suka membaca daripada menulis. Dia suka memasak tapi malas mencuci peralatan bekas perangnya, dan lebih suka memotret ketimbang bermain alat musik.

Sekarang apa yang bisa dilakukannya? Sesuatu yang dapat menjadi  senjata dalam peperangan era ini. Karena, sudah saatnya Lisa mengentas dari keterpurukan. Keterpurukan jiwa, batin, yang memojokkan dirinya sendiri dari lingkup sosial. Merenovasi aspal yang makin remuk tertindas.

Sudah cukup Lisa menahan segala problematika yang mendrama ini. Dia tidak boleh selamanya mencekik diri. Apa yang sekiranya dapat menyalurkan emosi pada hal positif yang mengantongi keberuntungan di dalamnya?

Ceklek.

"Eomma sudah selesai memasak. Ayo turun!" Mino menggugah Lisa dari lamunan serius itu. Kapan sih Lisa lebih banyak bercandanya.

Sepanjang makan tidak ada yang bicara. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Begitu pula dengan Lisa yang belum puas melamun. Selesai makan dia membantu Mino melakoni tugas mencuci piring sembari bertanya sesekali. Kali saja ada sesuatu yang bisa menginspirasi.

"Bangmin, Lisa ikut ke kamar Bangmin, ya?" pinta gadis itu.

"Haha. Mau apa? Mau membersihkan kamarku? Silakan kalau begitu," jawab Mino melantur. Lisa tetap mengikuti Mino. Mendahului masuk kamar bernuansa antik dan sentuhan 'kuno' yang kental pada setiap inchinya.

"Masih belum puas mewawancaraiku gadis reporter? Kau terlihat banyak bicara."

Lisa menyengir, "Masih banyak yang ingin kutanyakan dan kudengar darimu."

Mino mengambil gitarnya. Menyibak gorden yang menutup jendela berukuran 0.5 x 2 m. Balkon merupakan tempat favorit Mino. Biasanya sambil bergitar, suara seraknya mengalun sampai ke kamar tetangga, kamar Lisa, "Memangnya manggung tidak membosankan? Kenapa Bangmin terlihat begitu terlena olehnya?"

"Tidak akan bosan melakukan hal yang kita suka, right?" jawabnya di sela genjreng jemari pada gitar elektrik, satu dari sekian koleksi Mino.

Ah, iya. Lisa juga tidak bosannya berenang, "Kira-kira aku akan bosan tidak ya melakukan apa yang biasa kau lakukan?" Tanya Lisa lagi.

"Maksudmu?"

"Kalau aku menyanyi sepertimu, aku akan kebosanan tidak?"

Mino menjeda petikkan senar gitarnya, memusatkan atensi indra menyawang dan indra merungu pada Lisa, "Kau mau manggung sepertiku?"

Lisa meringis mendengar pertanyaan to the point Mino. Dia kelewat peka menangkap utaran tersirat Lisa. Ya kan mungkin saja dia akan cocok di sini, "Hanya iseng ingin mencoba. Kedengarannya bagus untuk mengisi kantongku yang kian menipis," jelas Lisa mengantisipasi dugaan Mino yang lepas sangkar.

"Kalau tujuanmu mencari uang lebih baik tidak usah. Itu tugas orang tua. Kau cukup anteng belajar di rumah," ternyata Mino malah keras melarang.

"Lalu kenapa Bangmin bisa?"

"Kita berbeda, Lis."

Lisa menggeleng, "Apanya yang berbeda?"

"Aku membutuhkan biaya tambahan untuk kuliahku. Itu saja kau tidak usah bertanya lebih jauh lagi."

Penuturan Mino tersebut membungkam mulut Lisa untuk kembali berkicau. Ini sudah melanggar batas, Lisa tidak boleh mencampuri urusan orang tua. Terlebih Mino baru saja pada tahap itu. "Iya deh, Lisa tidak akan terjun dalam dunia Bang Mino itu."

Lihat selengkapnya