I'm a Writter, Not an Actress

meoteaas
Chapter #12

12. Publish

Cassy sudah menuntun detail penggunaan aplikasinya kepada Lisa. Meski hanben sudah mendobrak pintunya, namun masih panjang lorong tersembunyi yang bisa jelajahi. Ada banyak fitur ini itu yang sempat membuat Lisa cukup terperangah. Untuk yang demikian Lisa harus menyumpal mulut lebar Cassy dengan beberapa bungkus ciki yang mengeruk kantong atas hasil pekerjannya menjadi dosen dadakan Lisa, semakin membuatnya tersadar. Tertinggal informasi adalah rugi yang paling merugi setelah tertinggal gerbong kereta waktu. Sepakat?

Bibit kalimat yang telah tertumpuk beberapa di gudang notenya sedikit demi sedikit mulai dibebaskan. Ya, Lisa dengan keberanian yang kali ini agaknya dipaksakan menyetorkan sebuah kisah beralur. Tentu saja masih sebagian kecilnya, masih dalam tahap uji coba.

Uang? Awalnya Lisa tertarik sekadar menumpahkan kata yang tersumbat di sekujur tubuhnya. Lalu, membaca yang merupakan hobinya seakan menasihati agar ia juga bisa menjadi sesuatu yang bisa dibaca. Kadang hanya melakukan kegiatan menggulirkan mata pun melelahkan bukan? Em, di samping membosankan juga mungkin. Anehnya saat di tengah dilemanya, kejadian ini datang.

Bisa dibayangkan dulu, ah iya bayangkan saja dulu karena bagaimanapun kita harus membayangkan sesuatu sebelum merealisasikannya. Naskahnya bisa saja dilirik oleh suatu badan publishing. Yang artinya akan ada aliran koin setelahnya. Terdengar mata hijau mungkin bagi sebagian orang. Tapi berpikirlah ulang. Bagian mana yang mrugikan dari menyalurkan hobi malah mendapat uang? Hey, itu aadalah hal yang mengntungkan. Peduli apa pada omongan orang nantinya.

Sayup berdenging lidah tetangga. Rupanya mereka menangkap pergerakan Lisa dan, waw, kenapa mereka jadi nampak begitu peduli pada Lisa? Haha lucu sekali. Nyali merogoh darimana mereka berkomentar seperti, "Lis? llice itu akunmu, ya?" tanya seorang teman kelas.

"Ah? Iya. Milikku," jawab Lisa jujur. Permainan di pagi hari? C'mon, its so fun, guys.

Mereka mendesah, "Jadi benar? Yang kubaca ini... suaramu?"

"Em, tidak juga."

"Apa maksudnya 'tidak juga' itu? Kau hanya menyewakan akunmu untuk seseorang? Yang benar saja tuan puteri," bak melempar jala di danau penuh piranha, itu yang kini anak-anak di hadapan Lisa lakukan. Yang benar saja.

"Kau tahu, Lis? Menggenggam terlalu banyak kepuasan dalam kesempurnaanmu itu, tidak baik. Ah, jangan marah. Aku hanya mengatakan seperti yang dulu nenekku katakan padaku," tambah yang lain.

Lisa makin dibuat terkulum, sebenarnya apa motif mereka-mereka ini. Masa karena merasa tersaingi. Tidak ada celah bersaing di sana Lisa rasa. Atau kecemburuan? Kan nada yang terbentuk menyiratkan kecemburuan. Lisa mulai paham. Astaga merka ini. Seperti lupa tengah bicara dengan siapa. Tuan puteri, bukan? Haha. "Memang aku yang membuatnya? Lagipula jika benar itu karyaku apa salahnya? Kalau masalah bagi kalian ya tidak susah dibaca!" hentak Lisa membuat wajah para lawan bicaranya terpental.

Kalau sudah melihat Lisa menggebrak meja seperti tadi, mereka takkan berani lagi menggertak. Lain kali Lisa harus segera menggebrak seisi sekolah kalau perlu untk menyadarkan mereka. Kasus pembelaan Lisa terhadap dirinya dari pembulian salah seorang perusuh beberapa saat lampau membuat mereka mati kutu. Beberapa meja dulu rusak dibanting. Itu Lisa lakukan semata menghindar dari amukan gadis gila itu dan berakhir pada panggilan orangtua. Sejak insiden itu Lisa menjadi makin menjadi mengurung lidahnya. Artinya bukan sepenuhnya Lisa yang merubah diri, keadaan. Entahlah.

"Lis? Ada apa mereka mendatangimu?" Ros khawatir mendapati Lisa dikerubungi anak-anak. Lebih banyak sisi geram dibandingkan khawatir.

Lisa menyeringai, "Meminta tanda tanganku."

Ros hanya menggeleng mendengar jawaban ngaco Lisa, "By the way, mari pergi bersamaku sore nanti."

"Ke mana dulu?"

Ros berbinar mendapat lampu kuning, Lisa harus selalu masuk perangkapnya, "Menonton June! Aku sudah lama tidak menontonnya di kafe. Ugh, tak kuasa membendung rindu lebih lama lagi."

Ya, Ros belum lama meresmikan hubungan asmaranya dengan June meski mereka sudah saling mengenal sejak lama. Entah apa yang dinanti hingga mereka baru memutuskan untuk berpacaran. Cinta? Itu alasan klise.

Dan sayangnya, Lisa memang terus memiliki alasan akurat untuk menolak ajakan Ros menghantarkannya ke tempat si kekasih meluapkan ketampanan, milik Ros. Ah, memangnya apa yang menarik di sana? Sebuah kemajuan karena Lisa menjadi tertarik untuk menyambangi.

Ros terus memasang puppy eyes-nya. Panda Aussie yang satu ini. Memaksa imut. "Ya kalau kau mau mengantar jemputku dan membayari ku ma—"

"Call! Aku tidak masalah dengan itu. Jam enam sore kujemput," serobot Ros. Antusiasnya untuk menyalakan mode fangirl melebihi saat menapat paket pesanannya diantar oleh kurir.

Melirik jam tangan, Lisa hampir saja membiarkan bola matanya terjun. Rose! Sekarang saja sudah jam empat! Jadi jangan salahkan Lisa jika sedikit terlambat nanti. Untuk pulang saja butuh waktu hampir setengah jam, belum untuk berberes. Lisa tidak suka jika harus meninggalkan pekerjaan yang telah menjadi jadwal rutin. Akan sangat memberatkan menumpuk-numpuk pekerjaan. Sudahlah Lisa harus cepat bersiap.

***

Lihat selengkapnya