I'm a Writter, Not an Actress

meoteaas
Chapter #18

18. Kenyataan

"Gimana, Lis?"

"Lisa menurut saja. Keputusan kalian pasti yang terbaik untuk Lisa."

Setelah memberikan jawaban yang sangat dinanti oleh Appa-nya demikian itu, Lisa melanjutkan berjalan ke kamar. Melempar tas sembarangan, melepas seragam, menyalakan AC, lalu menarik selimut. Hujan yang belum lama ini mereda kembali turun deras, membasahi rahang tirusnya hingga ke leher.

"Sekarang siapa lagi yang bisa mengerti diriku? Bahkan aku pun tidak bisa mengenali diri ini sendiri," rutuk Lisa.

***

"Ahh pusing sekali kepalaku. Pasti lingkar mataku makin menghitam. Sialan."

Tidak terasa lebih dari lima jam Lisa tertidur sejak menangis sore tadi. Kalau perutnya tidak mencengkeram pun ia takkan terbangun tengah malam seperti ini. Lisa melangkahkan kaki mengikuti arahan tak tertulis. Seluruh ruangan gelap. Tanda semua orang sudah tidur.

Saat dibukanya tudung saji, kosong. Tak ada makanan tersisa untuknya. Mungkin Eomma lupa kalau dia suka terbangun malam-malam seperti ini untuk mengisi perut? Berpikir positif saja.

"Lomba menulis cerpen... lomba menulis surat... lomba cipta puisi... astaga tidak ada yang menarik."

Sembari menunggu air yang dimasaknya mendidih, gadget menjadi teman Lisa bercengkerama. Memasak ramyeon bukan ide yang buruk kala pikiran tak terkendali. Ramyeon menjadi favorit Lisa di saat seperti ini. "Ah! Pedas sekali!" Mendadak dia akan lupa prinsip-prinsip yang memenjarakan pola hidup sehatnya. Meski demikian terus Lisa suapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Mengoyak menjadi menjadi potongan kecil.

"Malang sekali nasibmu. Harus teraniaya seperti ini. Syukurlah nasibku masih jauh lebih baik darimu," Lisa bermonolog pada semangkok ramyeon di depannya.

Terus memikirkan hal-hal positif. Walau serba diatur seperti ini, keluarganya masih sepenuhnya waras. Kekerasan sangat pantang bagi mereka. Sikap tegas, Lisa rasa warisan saja. Mengingat keluarga Appa dan Eomma banyak yang menjadi tentara.

Selesai dengan urusan perut, kini Lisa harus memanjakan mata. Mengambil sebuah sheetmask dan dua iris mentimun sebagai penyegar. Semoga saja besok sudah tidak membekas lukisan di wajahnya.

***

Semalam Lisa terlupa untuk meminum obat. Alhasil bangun pagi ini badannya terasa remuk. Belum lagi matanya yang masih terasa berat. Sudah kantong matanya besar jadi makin-makin terlihat besar dan hitam.

"Makanlah yang banyak anak-anak Eomma. Maaf Eomma tidak bisa menemani kalian sarapan ada urusan mendadak. Have a nice day!" seru Eomma. Eomma memang tidak melihat keadaan Lisa karena nampak sama, atau memang tidak perduli? Tapi teruslah memikirkan hal baik saja. Eomma adalah wanita karier, sudah sangat jelas dan sangat Lisa mengerti jika wanita itu super sibuk. Apalagi jika hanya masalah mata bengkak, Lisa pasti bisa mengurusnya sendiri.

"Kak Lisa giliranmu mengantarku hari ini karena hanya tersisa dirimu sekarang," pinta Cassy.

"Hm."

Mood Lisa sangat buruk pagi ini. Dan... Lisa juga kembali melupakan satu hal. Sudah tau matanya bengkak tapi kenapa tidak menutupnya dengan sedikit sentuhan make up? Cassy sering mengatakannya dengan concealer? Foundation? Pondasi? Apalah itu Lisa sama sekali tak tahu. Meski tidak memiliki yang semcam itu tapi kan koleksi Cassy tentunya lengkap.

"Lis? Matamu terlihat merah," kata seorang teman kelas Lisa menyambut. Wah, jadi nampak sok perhatian. Hei, Lalice! Bisakah kau tak terus berprasangka buruk pada orang lain? Setidaknya jadilah manusia munafik sesaat demi terlihat baik.

"Memang terlihat seperti itu?"

Ia menjawab, "Iya. Merah, berair, dan kantung matamu membesar"

"E-eh? Kan memang kantung mataku besar haha," Jawaban Lisa terkesan ngawur. Namun inilah Lisa. Tidak semua orang tulus bersimpati, ada juga yang hanya ingin mengorek informasi.

Lihat selengkapnya