I'm a Writter, Not an Actress

meoteaas
Chapter #20

20. Moment

Kepercayaan adalah suatu yang sangat berharga meski tak dapat kita raba. Oleh karena itu tak selalu kita nampak akan kepercayaan. Terkadang ia bersembunyi di balik celah sehingga kita tak menyadarinya.

Bukannya Lisa sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang tuanya. Lisa masih mempercayai mereka, sangat. Tapi untuk kali ini, dia ingin sedikit menunda.

"Sebenarnya aku sudah gatal ingin mengabari Eomma mu itu, Lice," ungkap Ros.

"Tidak perlu, Rosie. Kau akan lebih membantuku dengan tetap di sisiku seperti ini tanpa memberi tahu mereka," balas Lisa.

Juga bukannya Lisa tak menghargai mereka. Lisa hanya terlampau malu. Dia bangga terhadap dirinya. Bangga sekali. Tapi Lisa tidak boleh egois untuk bersenang hati di atas penyesalan orang lain. Tunggu sebentar lagi.

Jadi hari ini adalah ceremonial penerbitan buku-buku yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit yang juga bekerja sama dengan Lisa. Dia tidak mengundang orang tuanya. Sedih. Lisa sedih untuk itu.

"Kwon Lalice!" Lisa terlonjak saat namanya diserukan.

Riuh tepuk tangan menyambut saat Lisa telah mematung sempurna di panggung. "Kami ucapkan terimakasih sekali lagi kepada seluruh pihak yang telah turut andil dalam~" dan bla bla bla bla.

Seluruh tim berjabat tangan merayakan penerbitan spektakuler kali ini. Memang untuk penerbitan kali ini amat special sebagai anniversary perusahaan. Banyak juga pemula yang beruntung naskahya diterbitkan seperti Lisa.

"Uuuuh selamat Lalice! Aku turut berbangga untukmu!" Ros orang pertama yang memeluk Lisa dengan ucapan manis itu. Ah~ seandainya saja Lisa sanggup, mungkin akan ada Eomma atau Appa yang memeluknya erat. Atau paling tidak Kai.

"Entah sudah berapa kali kau mengatakannya. Sudahlah ayo mampir ke cafe terdekat. Aku tau kau sangat haus," ajak Lisa.

Ros mendesah, "Bukan haus lagi. Ayo!"

Mereka memutuskan untuk berbelok ke kedai kue yang nampak cukup ramai. Memesan dua porsi redvelvet, satu cheescake, dan dua banana smoothies. Tidak suka suka sangat sih, ya tapi kelihatannya tidak buruk. Karena mereka bisa melahap apa saja.

"Lalu kapan rencananya kau akan membawa kabar bahagia ini kepada keluargamu?" Ros terus saja mendesak Lisa.

"Menurutmu kapan?" Tanya Lisa balik.

Ros mengerucutkan bibirnya, menopang dagu. Lisa yang harusnya berpikir malah dia yang stres. Jadi inilah sahabat? "Ku rasa saat semua keluargamu berkumpul. Saat dinner mungkin?"

Lisa akui itu adalah jalan pikir yang sederhana yang sangat pasaran, iyakan? "Ide yang tidak terlalu buruk," jawab Lisa.

"Yak! Itu saja sudah kubantu berpikir!" Ros terlihat kesal dengan jawaban sahabatnya.

"Haha. Maaf aku kelewat jujur."

Bukannya merayu malah Lisa semakin membuatnya kesal.

"Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana orangtuamu memelukmu bangga saat mengetahui anaknya menjadi model?"

Ros tanpa menghentikkan kegiatannya mengunyah menjawab, "Aku menjadi model karena tawaran dari Mommy. Dia yang ditawari sebuah job untuk remaja jadi bukan karena inisiatifku."

Sial. Orangtua Ros memang sangat mendukung anak-anaknya. Ros seperti ini bukan sepenuhnya kemauannya, tapi Ibunya juga memberi support. Pasti Kak Acha juga. Menjadi chef tidak akan mudah apabila melihat latar belakang keluarganya.

"Beruntungnya dirimu, Ros."

Mendengar itu barulah Ros menatap Lisa, mengentikkan mengunyahnya, "Kau tidak jauh beruntung dibandingkanku, Lice. Memang apa yang membuatmu merasa tidak beruntung?"

"Kurasa kau cukup untuk tahu."

Ros kembali terdiam mencerna perkataanku, "Ya, baiklah. Tapi kau cukup beruntung dengan penerbitan karyamu ini tanpa dilarang oleh Eommamu kan?"

Lagi-lagi Rose menyadarkan Lisa. Iya juga. Lisa masih memiliki kebebasan yang lain meski beberapa sudah dipenjara. Mutlak.

"Aku suka mendengarmu berbicara," kata Lisa keluar dari topik pembahasan.

"Kenapa? Oh memang suaraku bagus sih," Ros mencoba mencairkan suasana lagi dengan lawakannya. Yang tidak lucu.

"Pede sekali dasar! Kau selalu mengatakan hal-hal positif. Aku suka."

"Ros kan memang membawa pengaruh baik kepada orang lain. Makanya kau tidak boleh bersikap durhaka kepadaku!"

Lucu sekali, sih. Sekarang Lisa ingin membahas alasan kenapa dia menutupi semuanya dari keluarganya.

Pertama, ini sebuah kejutan sebenarnya. Mereka pasti tidak menyangka Lisa 'seperti ini' dengan inisiatif dalam karyanya. Kedua, Lisa takut melukai mereka. Dia tidak mau mereka tersinggung terhadap karyanya yang bisa saja menyindir orang-orang seperti orang tuanya.

Yah~ mau bagaimana lagi? Kebanggan mereka terhadapnya mungkin hanya akan sesaat saja. Setelahnya mereka akan sibuk mengoreksi diri penuh sesal. Lisa tak sekejam itu.

Lihat selengkapnya