“Siapa yang bisa pacarin Adora, gua bakal kasih salah satu cabang perusahaan bokap ke kalian. Silahkan ambil formulir ini kalau kalian minat.”
Atensi murid kelas dua belas terarah pada cowok datar yang anteng duduk di atas meja guru, menggulung puluhan formulir di tangannya, seperti menggoda mereka untuk segera mendaftarkan diri sebelum kuota penerimaan pacar habis.
Sebagian menelan ludah, tergiur akan imbalan yang diterima. Lessin, tidak pernah main main dengan ucapannya. Cowok berkaca mata minus itu memegang prinsip ‘mulutmu harimaumu’ yang mana jika mengingkari akan membuat hidupnya malu. Fakta lainnya tentang Lessin adalah, dia kaya, keluarganya berasal dari kalangan darah biru. Memberikan satu dari sekian perusahaan yang dimilikinya tentu tidak serta membuat marga Siraouhen kehilangan harga dirinya.
“Sebutin syaratnya! Kalau imbalannya gede gitu, mana mungkin gak ada ketentuan berlaku, ‘kan?”
“Hmm, bener juga, loe gak bakal setega itu tawarin Adora kaya gini. Semua orang juga tau gimana posesifnya loe sama dia.”
“Maju tak gentar ah, siapa tau Adora jodoh gua.”
Celetukan teman temannya menjadi riuh saat beberapa golongan membicarakan strategi jitu untuk menarik perhatian Adora. Lessin mengulas senyum lembut. Jarang sekali cowok dingin ini memamerkan lesung pipinya meski hanya satu detik. Kaum hawa yang ikut menyimak pengumuman dadakan, mengibaskan buku ke area wajah, entah kenapa senyum lembut Lessin memberikan efek hareudang di sekujur tubuh mereka.
Hareudang hareudang hareudang, panas panas panas.
“Cukup satu, jangan buat dia kecewa! Kalau gua dapet laporan Adora sakit hati, bukan Cuma imbalan yang gua tarik, tapi kebahagiaan keluarga loe gua hancurin,” ucap Lessin penuh tekad, “gampang bukan? Kalian cuma berperan jadi pacar baik hati sampai batas waktu yang gua tentuin. Oke, gak perlu basa basi, ambil formulir ini kalau tekad kalian udah bulat.”
Hampir semuanya bangun menyerbu formulir limited edition saat sudah dipersilahkan oleh Lessin. Cowok datar itu mengulas senyum manis sembari melenggang keluar kelas setelah menyimpan tumpukan formulir di atas meja guru.
Hari ini mungkin bolos saja, toh tidak merugikan juga, fikir Lessin.
***
“Dia kira gua gak tau ya? Kok seenaknya jadiin gua bahan tawaran temen sekelasnya?” Kaki telanjangnya berjengit kaget saat menyentuh kolam ikan yang ada di taman belakang sekolah. Setelah mendengar sayembara di kelas dua belas yang sedikit membuat hatinya tidak terima, Adora melarikan diri, kecewa pada Lessin yang menganggapnya seperti barang tidak berharga. Niat ingin mengajak cowok itu makan siang di kantin bersama, tapi malah tersuguhkan berita menyakitkan.
Mulutnya mengeluarkan kekehan kecil saat ikan ikan itu menggerumuti kakinya. Kata orang, terapi ikan sedikit membantu menghilangkan stres dan sedih, semoga saja perasaan sakit yang bercokol di hatinya bisa langsung hilang dengan bermain main seperti ini.
Sudah tiga menit ia berusaha menikmati sensai geli di kakinya, hasilnya tetap sama, sakit. Adora menggelengkan kepala, menyangkal asumsi semua orang kalau terapi ini bisa menghilangkan sedih. Kepercayaan yang mereka bangun selama belasan tahun, hancur begitu saja saat Lessin dengan mudahnya menawarkan harga dirinya pada laki laki lain.
Peringainya memang terkesan masa bodoh, tapi sejujurnya hati Adora sama seperti perempuan lain. Mudah terbawa perasaan dan sakit hati.
Pertahanannya hancur, air mata akhirnya meluruh, sakitnya tidak bisa ia bendung lagi. Di matanya Lessin sudah sangat keterlaluan, Adora benci. Padahal mereka sudah bersahabat sejak masih memakai celana dalam, tapi kenapa cowok itu jahat sekali?
Adora menarik napas panjang, menyeka kasar jejak air mata yang sangat tidak cocok diperankan olehnya. Perutnya berontak minta jatah, Adora bergegas membuka tepak yang sudah ia siapkan untuk makan siang bersama Lessin di kantin. Setidaknya menghadapi kenyataan harus dengan perut kenyang, hidup itu harus seimbang: Adora akan mengumpulkan tenaga lebih untuk menunjukan pada Lessin kalau dia baik baik saja.
Mengingat kejadian tadi membuat nafsu makannya bertambah. Bersahabat dengan lawan jenis memang tidak akan pernah bisa awet, contohnya saja Adora, ia harus rela memutus tali persahabatannya demi harga diri.
itu pun kalau Adora sanggup.
“Bisa makannya jangan berisik? Cewek itu gak baik kalau ngunyah ngeluarin suara, kayak kuda.”
Tidak jauh dari tempatnya duduk, Adora menangkap siluet laki laki tinggi yang asyik membaca novel di bangku taman dengan sebelah telinga tersumpal headset bluetooth. Adora merenung, kapan ya dia bertemu dengan laki laki ini? Wajahnya tidak asing.
Balik badan menghadap cowok itu, Adora berfikir keras meneliti wajah tampannya. Kalau mengajak kenalan, tidak salah 'kan? Adora ingin tahu, apakah mereka pernah bertemu atau tidak. “Oke, nama gua Adora, nama loe siapa? Gua kepo.” Netra yang tadinya fokus pada lembar novel kini beralih menatap rumput bergoyang. Seringai tipis terbentuk di sudut bibir, harga dirinya sebagai penulis terkenal yang sudah memiliki followers instagram sekitar seratus ribu lebih tersentil mengetahui fakta bahwa perempuan suram ini tidak mengenalinya sama sekali.
Ah dia hampir lupa, bukankah orang orang hanya mengenal karya karyanya daripada wujud aslinya ya? Identitasnya memang tertutup rapat, wajar saja kalau perempuan yang asik makan itu tidak mengenalinya.
“Loe gak kenal gua?” tanyanya menyakinkan.
“Kayaknya kenal, muka loe pasaran, makanya tadi gua nanya nama loe.” Adora menghampiri bangku bermuatan dua orang itu sambil menjinjing sepatu dan bekalnya. Meluruhkan tubuh di samping cowok –yang keliahatan satu tahun lebih tua darinya- lantas merunduk untuk memakai sepatu.
Saat aktivitasnya selesai dan Adora hendak mengangkat kepala, tidak sengaja ia melihat cover novel yang dibaca laki laki itu sama percis dengan koleksi novel di rumahnya. Bukan covernya, tapi judul buku dan penulisnya.
“Bayu Febrian? Penulis novel best seller dan empat tahun kemudian bakal jadi jodoh gua. Loe juga suka sama karya dia? Jarang tuh gua liat cowok suka novel kayak loe.”