Mau tidak mau Bayu harus menunda pekerjaannya. Merampungkan bab terakhir pada novel yang sedang ia garap lantas bangkit saat bel rumahnya berdering. Ia perkirakan seseorang yang bertamu di jam Sembilan malam ini adalah Lessin. Siapa lagi?
“Gak tau tata karma loe dateng malam malam gini.” Mulutnya memang mendumal, tapi gesture tubuhnya mempersilahkan sang tamu masuk.
Bayu menutup pintu setelah Lessin dengan wajah dinginnya menerobos masuk apartemen sederhana tapi sangat rapih untuk seukuran laki laki. Menaruh dua box chicken di atas meja lalu pergi ke dapur untuk mengambil piring dan nasi. Bayu duduk di sofa menghadap chicken yang sangat menggoda selera. Kebetulan sekali perutnya belum terisi makanan, tanpa menunggu kedatangan Lessin terlebih dulu Bayu sudah membuka bungkus box itu lantas mencomot satu ayam setelah ia cocol dengan sambal tomat.
“Ah.” Bayu mendesah nikmat saat perpaduan rempah-rempah berasal dari daging serta manis asamnya sambal tomat menguasai lidah. Seolah tidak puas mengekspresikan rasa nikmat dan cintanya pada chicken, wajahnya dibuat dramatisir seakan dirinya belum pernah mencicipi makanan enak.“Ternyata hidup itu enak kalau dinikmati, hmm.”
“Bay, kenapa loe belum mati?” teriak Lessin dari dapur.
“HAH?”
“Nasi yang ada di magic com udah busuk, ada cicaknya lagi. Kenapa loe belum mati?” Bayu tersedak tulang ayam, buru buru ia lari ke dapur dan mencari minum.
Sambil terbatuk heboh, Bayu menutup hidung karena Lessin dengan wajah polosnya membiarkan wadah nasi itu terbuka sampai bau busuk menguar. Bayu juga baru sadar kalau sudah seminggu ini ia belum menanak nasi dan membiarkan sisa nasi yang dulu, terpendam di sana. Bau sekali.
“Tutup lagi bego itu magic comnya! Bau bangke banget.” Bayu meneguk air rakus, tulang ayam rangu yang nyangkut di tenggorokannya sudah masuk sepenuhnya ke dalam perut.
“Terus loe selama ini makan dari mana?” Alih alih menutup kembali magic com yang sudah kepalang terbuka, Lessin tanpa ada rasa jijik mengangkat teplon berisi nasi dan membawanya ke tempat penyucian piring. Bayu tersenyum masam, enaknya punya teman rasa babu.
“Makan di restoran dong, duit gua banyak.” Lessin berdecih sambil fokus membuang nasi busuk itu ke tong sampah lalu mencuci bersih teplon sebelum ia menyinduk dua kaleng beras untuk dinanak kembali.
“Bukan masalah duit loe banyak apa enggaknya Bay, siapa tau buku buku loe gak laku di pasaran, loe mau ngandelin siapa hah?”
“Ya jangan gitu juga dong doainnya, gua ngeri sendiri kalau itu benar benar terjadi,” ucap Bayu mengambil alih pekerjaan Lessin.
Kalau difikir fikir, ia kurang ajar sekali kepada tamunya. Seharunya ia menyuguhkan minuman atau makanan, tapi si tamu sendiri yang malah melayani tuan rumah.
“Daripada makan di restoran, mending loe belanjain kebutuhan makan selama sebulan dan loe masak sendiri. Selain hemat, itu juga sehat.”
“Iya iya dah, loe udah kayak emak emak aja, berisik. Loe mau numpang makan ‘kan?” Lessin mengangguk. Kebiasaan Lessin itu tidak pernah hilang, kalau tidak ada seseorang yang menemaninya makan, ia akan datang kepadanya. Latihan jadi pelampiasan dulu, siapa tau ada perempuan yang butuh perannya, ia akan sigap menawarkan bahu, pundak, dada, hati, jantung dan nyawa sekalian, fikir Bayu sudah di luar batas.
“Kenapa masak itu bego?” Lessin menoyor kepala Bayu saat si empunya meracik super bubur.
“Loe laper, gua juga laper. Kalau nungguin nasi mateng, gua keburu sekarat. Jadi, makan seadanya aja, untung gua nyetok super bubur sekardus,” semprot Bayu sambil kedua tangannya sibuk mengaduk bumbu bubur.
Bayu ngakunya introvert, tidak pandai bergaul tapi kelakuannya tidak jauh seperti dakjal, Lessin mengembuskan napas pasrah sambil memperhatikan tubuh tegap Bayu dari belakang.
***
Katanya, malam ini Bayu Febrian akan mengadakan live Instagram. Adora yang terlalu antusias sampai melupakan dinner keluarga besar yang rutin dilakukan setiap bulan. Selagi orang rumah belum menyuruhnya keluar kamar, Adora tetap bergelut di dalam selimut sambil menunggu dan menimang ponselnya yang masih belum ada notifikasi khusus.
“Adora, Mamah masuk ya?”
“Masuk aja Mah,” ucap Adora mempersilahkan mamahnya masuk. Sejak pulang sekolah, ia memang mengurung diri, tidak menerima kunjungan Lessin yang setiap hari dan detiknya mampir ke rumah. Penyebab hatinya sakit adalah Lessin, wajar kalau Adora sedikit menaruh dendam pada laki laki itu.
“Gak sopan loh seluruh keluarga kita ada di bawah kamu gak nyapa sama sekali.”
“Bulan depan juga ketemu lagi,” jawab Adora santai menyibukkan diri dengan benda pipih, menunggu notifikasi dari penulis favoritnya.
“Kamu juga belum makan, mau Mamah panggil Lessin ke sini? Biasanya kamu nurut sama dia.”
“Panggil aja, kalau Mamah mau Lessin aku siksa sampe mati.” Ranum bergedik ngeri melihat tekad sungguh sungguh terpatri di wajah anak gadisnya.
Sejak kecil, Lessin memang selalu menempeli Adora, menjaganya dari anak anak nakal sekitar komplek dan mengclaim kalau Adora tidak boleh berteman dengan siapa pun selain dirinya. Beranjak dewasa, kedekatan mereka tidak terkikis, semakin merekat dan bergantung satu sama lain bak perangko. Aneh saja, hari ini ia tidak melihat Lessin mengunjungi Adora.
“Kamu ada masalah sama dia?”