Seorang gadis berumur awal 20-an terlihat sedang celingak-celinguk di depan sebuah pagar tinggi berwarna hitam. Ia berjalan ke kiri ke kanan sambil berusaha melihat area dalam pagar yang tak tergapai. Tingkahnya memancing kecurigaan. Ditambah dengan penampilannya yang menggunakan jaket hoodie hitam menutupi kepala membuat wajahnya tak terlihat.
Kara, nama gadis itu, masih saja merutuki kebodohan yang dilakukannya minggu lalu. Ia tertegun sejenak lalu menghentak-hentakkan kaki. Suara hati menyuruhnya agar meninggalkan tempat itu karena perasaannya berangsur tidak enak. Rasanya seperti dengan sukarela datang ke kandang singa. Ia tidak tahu orang macam apa yang tinggal di dalam rumah yang tidak terlihat itu. Bisa saja seorang psikopat yang akan memangsanya. Atau, bisa saja nanti ia justru dikurung di dalam dan tidak bisa keluar lagi.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala berharap semua bayangan negatif pergi dari pikirannya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Kara sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya hari ini demi menyelesaikan urusannya dari seminggu lalu itu. Dalam benaknya, ia sudah menyiapkan beberapa opsi sebagai bentuk tanggung jawabnya walaupun yah belum tentu akan diterima juga. Yang penting dirinya sudah datang hari ini dan menunjukkan itikad baik.
Setelah menemukan intercom yang tadi tak terlihat karena terhalang daun rambat, akhirnya pagar pun terbuka. Kara masuk dan terperangah dengan pagar yang bergerak otomatis. Ia kembali melaju motornya ke jalanan selebar dua mobil yang ada di depannya. Dari depan pagar tadi, Kara tidak melihat bangunan apa pun karena pagar yang begitu tinggi dikelilingi oleh pagar beton yang juga melebihi tingginya. Namun saat sudah berada di dalam, rasa takjub menghampirinya. Di samping jalan yang dilewatinya, terdapat banyak rerimbunan pohon. Membuatnya teringat suasana di Kebun Raya. Di bawah pohon yang paling rindang terdapat air mancur kecil sebagai pemanis taman.
Di ujung tepian pagar beton, berjejer bermacam-macam jenis tanaman. Semua tertata dengan rapi. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya perlu berapa orang hanya untuk membersihkan dan merawat halaman seluas itu. Setelah menelusuri jalan sepanjang 200 meter, barulah dia melihat bangunan dua lantai yang berwarna putih biru berdiri kokoh.
Oke, ini adalah rumah normal. Rumah manusia, maksudnya. Tadi Kara sempat berpikir dirinya seperti karakter Belle yang masuk ke dalam rumah Beast. Sungguh khalayan yang terlewat jauh!
Dilihatnya juga beberapa mobil berjejer rapi di sebelah kanan. Ia mengenali salah satu mobil yang berwarna hitam. Mobil itulah alasan dia berada disini sekarang. Dan karena Kara tidak melihat ada motor terparkir, ia memarkirkan motornya di depan mobil Alphard, sang biang masalah.
“Silahkan masuk, Mbak.”
Seorang perempuan paruh baya menyambut dan mempersilahkan Kara masuk ke dalam rumah besar itu. Ia disambut dengan ruangan yang begitu luas, kira-kira 5x lebih besar dari kamar kost-nya. Kara dipersilahkan duduk di salah satu sofa beludru berwarna biru navy. Dan sekali lagi ia dibuat terpesona. Kali ini dengan interiornya yang begitu meneduhkan mata. Pandangannya memutar otomatis menyusuri ruangan. Kara masih saja sibuk memperhatikan lukisan dan foto-foto yang terpajang saat seorang lelaki paruh baya menghampirinya.
Ini pertemuan kedua Kara dengan Bimo, lelaki yang menyalaminya itu. Kali ini Bimo terlihat lebih ramah daripada pertemuan pertama. Tidak ada aura kekesalan yang kala itu dirasakannya. Justru sekarang ia terlihat begitu simpati pada gadis itu.
“Oke, kita langsung aja ya, Mbak. Beberapa hari lalu saya udah ke bengkel dan ini bonnya.” Bimo menyerahkan kertas bon putih. “Waktu itu saya bilang estimasi kerusakannya 10 juta kan ya? Tapi ternyata nggak segitu, Mbak,” tambahnya lagi.