Kara merebahkan tubuhnya di kasur yang tingginya hanya 30 cm dari lantai. Pikirannya melayang memikirkan tawaran yang ia terima hari ini. Kara menatap langit-langit kamarnya dan kemudian menghela napas. Kebingungan melanda hati dan pikirannya. Kalau tidak diterima tawaran Bimo, dirinya bisa dijebloskan ke penjara. Tapi kalau diterima, akankah ia sanggup menghadapi bos yang aneh bin ajaib itu? Beberapa menit di dekatnya saja sudah membuatnya makan hati. Bagaimana caranya harus bertahan 6 bulan?
Belum lagi dengan pekerjaan yang sekarang sedang dijalaninya. Sudah 2 tahun dia bekerja di Coffee Inch, sebuah gerai kopi yang sedang berkembang. Dan sejauh ini, Kara menikmati pekerjaannya. Ia sudah merasa cocok dengan pekerjaan dan juga rekan-rekan kerjanya. Yah, walaupun ada saja orang yang tidak suka dengannya, seperti Ranena, supervisornya. Namun, itu masih dalam kategori wajar. Bukankah di mana-mana, akan selalu ada yang pro dan kontra?
Kara menangkupkan satu tangan ke atas keningnya. Ia memejamkan mata dan kembali merutuki kebodohan yang sudah dilakukannya sehingga membuatnya terjerat ke dalam masalah. Masih teringat jelas bagaimana ini berawal. Semua ini bermula dari kejadian minggu lalu ….
Malam sebelum kejadian, Kara merasakan pegal-pegal di punggung dan kedua tangannya. Ia sedang mengambil job freelance mengupload produk marketplace dari salah satu kliennya dan datelinenya keesokan siang. Itu berarti sebelum ia masuk kerja keesokan hari, job itu harus selesai. Kara melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Matanya sudah terasa berat seakan menanggung beban puluhan kilo. Dirinya sedang berpikir apakah bisa mengejar datelinenya itu. Baru 500 produk dari 1000 produk yang harus diuploadnya. Kemarin ia bisa upload 500 produk dalam waktu 6 jam. Itu berarti ia perlu waktu kira-kira 6 jam lagi untuk menyelesaikannya. Bisa saja ia mengerjakan sampai pagi dengan mengorbankan waktu tidurnya.
Namun masalahnya ini sudah malam ketiganya begadang. Jika malam ini Kara melewatkan waktu tidurnya lagi, bisa-bisa keesokan harinya ia tumbang. Kara sibuk menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan sampai akhirnya justru tertidur dengan posisi yang sebenarnya tidak nyaman. Hanya kepala sampai punggung atas yang berada di atas kasur. Sisanya hanya bersandar seadanya beralaskan karpet. Lampu pun masih menyala terang, padahal dalam keadaan normal Kara tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Kelelahan memaksa tubuhnya melepaskan semua aktivitasnya. Dan ketika fajar beranjak terbit, ia terperanjat saat adzan Subuh berkumandang. Dengan terburu-buru Kara mengambil wudhu agar mukanya segar kembali dan setelah menunaikan kewajibannya ia sigap duduk di depan laptop lalu mengerjakan tugasnya dengan kecepatan penuh.
Jam 10 pagi, Kara akhirnya berhasil menyelesaikan targetnya dan segera setelah memberitahu kliennya kalau pekerjaannya sudah selesai, ia langsung beranjak terburu-buru melaju motornya karena jam 11 siang sudah waktunya berangkat untuk bersiap-siap memulai shiftnya bekerja di gerai kopi.
Hari itu, pertengahan bulan Juni, matahari bersinar sangat terik. Sinarnya begitu gagah, tidak ada satu pun awan yang berani menghalangi. Perjalanan macet karena jam makan siang pun semakin mewarnai hari itu.
Kara terus menerus gelisah melihat jam tangan bergantian dengan jalanan di depannya. Tak terlihat ujung yang memperlihatkan jalanan lancar. Semua masih bergerak bagai siput. Dengan sinar terik yang begitu kuat, pandangan Kara seakan dibuat silau dan mulai berbayang. Badannya pun entah kenapa seperti meronta-ronta minta dibaringkan. Rasa kantuk kembali menyerangnya. Dalam perjalanan yang lambat itu, Kara dibuat tak berdaya saat matanya kembali memaksa menutup disaat yang tidak tepat. Tanpa disadari motornya miring ke kanan. Bersamaan dengan itu, kendaraan di sampingnya juga mulai lambat melaju.
KREEEEEEET.