“Yang bener? Jangan bercanda loe, ah!”
Kara masih ingat bagaimana reaksi teman-teman kerjanya saat dirinya mengutarakan niatnya untuk resign dari Coffee Inch. Jangankan orang lain, ia sendiri pun sebenarnya kaget karena harus tiba-tiba berhenti kerja dari tempatnya mencari nafkah selama dua tahun terakhir itu.
Teman terdekatnya, Fani dan Raka, yang heboh memaksa Kara untuk menceritakan alasannya resign terburu-buru. Akhirnya ia pun menceritakan kejadian apes yang dialaminya dan respon dari mereka pun beragam. Dari berniat mencarikan pinjaman online sampai saran untuk kasbon ke managemen kafe. Kara menolak semua saran yang diberikan. Ia tidak mau terlibat hutang yang justru akan memberatkannya di kemudian hari.
Setelah bergulat dengan pikirannya beberapa lama, Kara memutuskan untuk menerima tawaran Bimo. Mau bagaimana lagi, ia tidak memiliki pilihan lain. Kara tidak punya uang banyak untuk membayar ganti rugi. Apalagi ia merasa majikan Bimo bukan orang yang bisa diajak bernegosiasi. Lagipula setelah dipikir-pikir lagi, ada hikmahnya juga ia bekerja di rumah megah itu. Paling tidak, dirinya tidak perlu membayar sewa tempat tinggal, listrik, air dan berbagai macam pengeluaran lain selama beberapa bulan ke depan. Setidaknya, beban pikirannya berkurang. Walaupun tidak mendapat gaji, Kara berencana akan mendapatkan pemasukan dari usaha sampingannya. Ia pun bertekad akan menjalani ‘hukuman’-nya dengan baik hingga waktu berjalan tidak terasa, sampai akhirnya urusannya selesai dan kembali ke rutinitasnya.
Jadi disinilah ia sekarang. Setelah selesai mengurus pengunduran dirinya di Coffe Inch kemarin, hari ini Kara sedang membereskan pakaiannya dan mulai berkemas ke rumah bos barunya.
-ΐ
“Ini Mbak Kara, kamar Mbak selama disini. Memang nggak terlalu besar tapi bersih dan Insya Allah nyaman ya, Mbak.” Imah, sang senior ART yang menyambutnya pertama kali, sedang memandu Kara menuju kamarnya.
Kara tersenyum ramah dan menaruh tas berisi pakaian dan beberapa perabotannya di atas kasur. Kamarnya sekarang tidak jauh berbeda dari kamar kost-annya. Perbedaannya hanya kamar mandi dan dapur yang berada di luar berbarengan dengan yang lain. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Imah dan dua asisten rumah tangga lainnya. Di depan juga terdapat ruang santai. Ada TV LED 32 inchi yang ditaruh di tengah dikelilingi sofa. Kara berpikir tempat tinggalnya sekarang lebih mirip seperti pavilion karena terpisah dari rumah utama. Bangunannya menghadap taman belakang berukuran kecil. Satu kesan yang didapatnya, nyaman dan bersih.
Kara menjatuhkan tubuhnya di kasur sambil melihat sekeliling kamar barunya. Disinilah ia akan berada selama enam bulan ke depan. Untuk sejenak rasa sedih melingkupi relung hatinya. Kara kembali merasa sendiri. Apalagi ia sekarang berada di lingkungan baru. Jauh di lubuk hatinya, dirinya berharap semoga para penghuni rumah bersikap baik padanya. Andai saja masih ada keluarga yang bisa menyemangatinya, mungkin ia tidak akan merasa terlalu kesepian seperti saat ini. Air matanya mengalir begitu saja. Merindukan orang-orang yang sudah pergi mendahuluinya.
Sejak ditinggal meninggal oleh orangtuanya saat Kara berumur 12 tahun, Kara tinggal dengan neneknya yang hidup sendiri di pinggiran kota Solo. Kara kecil yang terbiasa hidup berkecukupan dan terbiasa dilayani, tiba-tiba harus bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Saat tinggal dengan neneknya inilah, Kara diajari untuk memasak, beres-beres rumah, naik kendaraan motor sampai minta tetangga dekat rumahnya untuk mengajarinya berenang. Neneknya bilang itu adalah skill yang diperlukan untuk bertahan hidup. Seperti tahu bahwa ajal akan segera menjemputnya dan akan menyebabkan cucu semata wayangnya tinggal sendirian, sang nenek benar-benar berusaha mempersiapkan Kara sebaik mungkin.
Ketika lulus SMA, Kara mengambil keputusan untuk merantau ke Jakarta. Melupakan segala kesedihannya akan kehilangan keluarga di kampung halamannya. Baginya kota Solo banyak menyimpan kenangan indah tapi terlalu sulit untuk ditinggali karena dia akan sering mengingat keluarganya yang sudah tiada. Hanya sesekali saja dia pulang ke Solo, untuk mengunjungi makam orangtua dan neneknya. Rumah yang dulu ditinggalinya pun masih dibiarkan kosong. Ia hanya menitipkan kepada tetangga dekatnya untuk sesekali memeriksa kondisinya. Dan sejak itulah Kara berjuang untuk kehidupannya di ibukota. Sendiri.