Gelak tawa kembali terdengar saat Bimo dan Imah mendengar cerita Kara tentang kejadian semalam.
“Apes banget deh saya, Bi, semalem! Udah anteng-anteng, ujungnya kena juga,” ucap Kara sambil menepok jidatnya.
“Lagian Mbak Kara kan udah dibilangin jangan naro barang sembarangan. Den Devan itu udah ngehapal semua liku-liku rumah ini. Jadi kita kalau mau ubah posisi aja harus bilang dia dulu.”
“Iya, Pak Bimo. Saya pikir aman kan saya naronya di pinggir tembok. Tapi ternyata bisa juga itu Pak Devan kesandung. Heran.”
Obrolan mereka terhenti saat mendengar panggilan dari Devano. Kara dan Bimo langsung beranjak menuju mobil Lexus putih yang sedari tadi sudah standby di depan pintu.
Kara langsung mengambil posisi duduk di samping Bimo setelah memastikan Devano duduk nyaman di kursi belakang.
“Kita mau kemana hari ini, Den?” tanya Bimo sambil berkendara keluar komplek rumah.
“Ke restoran Rosemary ya, Pak Bimo. Yang di hotel Centaury.”
“Siap, Den Devan.”
Kara mengamati Devano dari balik kaca spion. Hari ini dia berpakaian semi formal. Kemeja putih panjang disandingkan dengan celana jeans. Kancing bagian atas dibiarkan satu terbuka. Kadang Kara heran, bagaimana bisa bosnya itu mengatur penampilannya seorang diri. Tampilannya kali ini mengesankan santai tapi juga resmi, yah perpaduan keduanya. Rambutnya sebelah disisir ke belakang, dan di sisi lain dibiarkan jatuh natural. Kara pun sibuk bertanya-tanya mau bertemu dengan siapakah gerangan sampai penampilannya sespesial itu.
Sesampainya di hotel Centaury, tangan Devano berpangku di lengan Kara dan mereka mulai masuk bersama diarahkan oleh seorang hotelier menuju restoran di samping lobby.
Di restoran bernuansa merah, mereka kembali diarahkan oleh waitress menuju sebuah meja. Disana sudah menunggu seorang gadis rupawan. Dia memakai dress selutut berwarna ungu pastel. Rambut panjangnya diekor kuda meninggalkan beberapa helai di bagian kedua sisi telinganya. Jelas terlihat penampilannya berasal dari kalangan kelas atas, dilihat dari tas dan sepatu branded yang dikenakannya.
“Halo, Devan,” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan.
Kara menuntun tangan Devano untuk menyambut tangan wanita di depannya.
“Halo. Dengan Michelle, ya?”
“Iya, betul. Ayo, silahkan duduk.”
Kara bersiap meninggalkan Devano dan Michelle berdua namun dibatalkan karena Devano menahan tangannya.
“Kamu disini aja, Kara.”
“Hah?” Kara terhenti sejenak memastikan perkataan Devano. Bagaimana bisa dia disitu saja diantara mereka berdua. Mau jadiin gue kaya nyamuk? tanya Kara dalam hati.