“Pabim …!” panggil Kara pada Bimo di sampingnya. Sekarang ia sudah punya panggilan singkat masing-masing untuk semua penghuni rumah. Kecuali untuk bosnya, tentu saja.
“Ya, Mbak?”
“Bimah minta kita jangan pulang buru-buru. Katanya pada mau nyiapin ulang tahun Pak Devan. Kita lama nggak di rumah sakit?”
“Yah … biasanya sih satu jam-an, Mbak.” Bimo menjawab sambil melihat kaca spion, memastikan apakah tuan mudanya sudah mendekat.
“Nggak lama juga, ya. Terus kemana lagi dong kita?” Kara mengedarkan pandangan melihat-lihat taman sambil berpikir, kemana lagi dia harus membawa Devano selama personil rumah mempersiapkan pesta kejutan.
“Ya udah, kita pikirin lagi nanti, Mbak. Den Devannya udah mau masuk.”
Kara menggerakkan jarinya membentuk isyarat OK.
“Pabim, nanti pulangnya bisa mampir sebentar ke tempat kurir? Saya mau drop paketan saya,” ucap Kara sengaja lantang.
“Iya. Bisa, Mbak Kara.”
-ΐ
Kara baru saja selesai mengantarkan Devano masuk ke ruang psikiater dan bergabung dengan Bimo di ruang tunggu. Ia masih saja sibuk berpikir harus membawa kemana bosnya itu untuk mengulur waktu. Sampai akhirnya muncul ide untuk membawa Devano ke tempat yang sudah dikenalnya.
“Ngomong-ngomong, Pabim, kenapa Pak Devan ke psikiater?”
Sejak tahu bahwa rencana kunjungan ke rumah sakit untuk menemui psikiater, timbul tanda tanya dalam pikiran Kara. Sepenglihatannya, Devano bukan orang yang perlu bantuan dokter spesialis kejiwaan itu.
“Hmmm ….” Bimo bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Kara. Ia ragu apa perlu menceritakan keadaan Devano yang sebenarnya.
“Kontrol aja sih Mba, sebenarnya. Sampai sekarang kan Den Devan masih konsumsi obat dokter.”
Hanya itu penjelasan Bimo yang ditangkap Kara bahwa hanya sampai itu saja dia boleh tahu. Kara pun hanya mengangguk-angguk pura-pura puas.
Namun tidak lama kemudian, Bimo justru menceritakan awal mula Devano diberi obat jangka panjang oleh dokter. Tidak lain karena sudah beberapa kali Devano mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Kara tidak menyangka kalau beban yang dirasakan bosnya itu sebegitu besar sampai berpikir untuk mati.
“Yah, gimana ya, Mbak. Dulu kan keluarganya bahagia, adem ayem aja, lengkap. Tapi dalam satu hari semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Kehilangan orangtua, terus kehilangan penglihatannya juga. Sesak karena kehilangan orangtua dua-duanya ditambah sesak karena penglihatannya tiba-tiba gelap. Dobel jadinya yang dirasa. Perusahaan juga sempat oleng karena ditinggal tiba-tiba sama Pak Alex, ayahnya Den Devan. Jadi ya, gamang mungkin hidupnya Den Devan waktu itu.”
Kara kembali mengangguk-angguk. Bertambah lagi hal pribadi Devano yang Kara baru ketahui. Ada perasaan aneh yang dirasakannya saat mendengar cerita tentang bosnya itu. Entah kenapa rasanya ia ingin sekali membuat Devano bahagia. Ingin memperlihatkan bahwa dunia tidak selalu bermusuhan dengannya.
-ΐ
Ira mengamati kertas di depannya dengan seksama. Serangkaian grafik dan beberapa hasil tes tertera disana. Ia bergantian melihat kertas dan lelaki di depannya.