Keesokan harinya ada kesibukan yang lain daripada biasanya di Rumah Gandaria, begitu Kara biasa menyebutnya sekarang. Mereka akan kedatangan tamu yang tak lain adalah paman sang bos, Satria. Karena Satria sudah jarang berkunjung ke rumah keponakannya itu, maka kedatangannya kali ini disambut agak spesial.
Sejak pagi, Imah sudah bersiap-siap memasak makanan untuk santapan makan siang nanti. Kara pun ikut serta sibuk di dapur menyiapkan beberapa cemilan dan es buah.
Tepat jam sebelas lewat 15 menit, Satria, Dewi istrinya, dan Arjuna, anak semata wayangnya, sampai di rumah Devano. Kedatangan mereka disambut Bimo dan Imah yang sudah lama mengenalnya. Mereka langsung masuk ke ruang keluarga.
Sepuluh menit kemudian, Devano turun dari kamarnya untuk menemui keluarganya yang berkunjung hari itu. Semua pasang mata tertuju pada laki-laki yang dari cara berjalannya saja mampu membuat banyak orang tak berhenti menatapnya. Devano turun dengan santai ibarat pangeran yang turun dari istananya. Kemeja flanel kotak-kotak menghiasi tampilan santainya hari itu.
“Apa kabar Om, Tante?” sapa Devano saat menjejakkan kaki di ruang keluarga.
“Wah, keponakan Tante, selamat ulang tahun ya, Sayang!” Dewi berkata sambil memeluk Devano.
“Selamat ulang tahun ya, Dev! Maaf Om terlambat,” sahut Satria.
“Santai aja, Om.”
“Kamu ya, nggak ngajak-ngajak makan di luar. Kemaren Om ajakin makan di restoran shabu-shabu, kamu nggak mau,” ucap Satria lagi.
“Yah itu saya juga nggak ngajak, Om. Lebih tepatnya ditodong.”
Gelak tawa terdengar mendengar jawaban polos Devano. Semua yang hadir terlibat obrolan hangat walaupun sekedar basa-basi belaka. Hanya Arjuna saja yang santai duduk di sofa, mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Kalau bukan paksaan ayahnya, dia pun sebenarnya keberatan untuk datang.
Sudah menjadi rahasia umum, Devano dan Arjuna tidak pernah akur satu sama lain. Kalaupun mereka terpaksa bertemu, biasanya hanya saling diam. Entah ada urusan apa mereka di masa lalu, tidak ada yang tahu pasti. Padahal saat kecil, mereka sering main bersama. Sama-sama menjadi anak semata wayang membuat mereka dulu sangat dekat.
Arjuna yang duduk menghadap ke taman belakang justru tertarik dengan seseorang yang lalu lalang didepannya. Dilihatnya seorang gadis sedang sibuk menata makanan yang disiapkan di samping kolam renang. Rambutnya dicepol tinggi memperlihatkan lehernya yang jenjang. Beberapa helai yang terlepas dari cepolannya malah menyiratkan kesan seksi daripada berantakan.
Arjuna mengamati dalam diam dan mulai beranjak dari tempatnya mendekati area kolam renang.
“Siang, Den Arjuna,” sapa Resti yang kebetulan melewatinya.
“Siang.” Arjuna menjawab tanpa melepaskan tatapannya dari Kara.
Yang ditatap justru tidak merasa dan melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Tak berapa lama, ia bergegas mengambil gelas untuk es buah sampai ia pun melewati Arjuna.
“Kamu orang baru, ya?”
“Eh?” Kara kaget tiba-tiba ditanya oleh seorang laki-laki yang belum dikenalnya. Ia menoleh ke kanan kiri memastikan bahwa memang dirinya yang diajak bicara.
“Ohiya, Pak. Saya Kara, asistennya Pak Devan,” ucap Kara sopan memperkenalkan diri. “Permisi,” pamitnya lagi setelah tak kunjung ada reaksi.
-ΐ