I Travel for Noodle

M Musa Al Hasyim
Chapter #1

#Resep1: Jangan Memutus atau Mengigit Mi

13 Mei 1998 Pagi, Sebelum Penjarahan Toko Milik Etnis Tionghoa Terjadi

Aroma tak kasat mata meliuk-liuk menembus batas tembok kamar. Pintu kamar yang sudah kukunci mampu dilaluinya. Aku tak tahan dengan aroma kuat yang berasal dari lantai bawah itu. Betapa hebat aroma menggugah itu. Mataku masih sayup-sayup melihat sekeliling kamar sementara indra penciumanku sudah bangun duluan mengalahkan katup mata sipitku. Segera saja aku beranjak dari tempat tidur, mengumpulkan nyawa yang tersisa dari segenap mimpi-mimpi gelap tadi malam. Aku berjalan dengan langkah sedikit gontai. Aku benar-benar tak tahan dengan aroma itu meski masih agak mengantuk.

Papa pun sudah memberi aba-aba. Suaranya mengeras, membuat langkah kakiku semakin cepat untuk menuruni setiap anak tangga. Aku mengucek-ucek mata.

“Dasar, sudah jam berapa sekarang, Nak! Nanti Kamu terlambat ke sekolah. Buruan makan mi yang sudah papa siapkan ini,” ujar papa menyodorkan semangkuk mi di atas meja makan yang menyatu dengan restoran milik moyang papa. Kali ini sarapanku adalah mi karena memang mi merupakan makanan keberuntungan dan kesukaan kami. Benar-benar seorang papa pengagum mi, anaknya pun mewarisinya.

Aku segera duduk, mengambil sumpit kayu bergambar panda. Aku tidak langsung memakan mi yang tersaji di depan mata. Aku mencium aromanya lekat-lekat, membayangkan sang hero bercelemek putih sedang di dapur dengan gaya jagoanya. Sang hero itu tentu saja papa. Ia seorang koki andal sekaligus pemilik restoran ini yang sangat aku kagumi.

Papa mengajariku agar tidak langsung memakan mi yang baru dihidangkan. Aku harus berdoa kepada Yang Maha Kuasa terlebih dahulu atas nikmat makanan yang tersaji di depan mata. Aku juga harus menghargai jasa si pembuat masakan selama kurang lebih semenit.

“Koki atau pemilik warung makan itu menyiapkan waktu 10-15 menit untuk membuatkan kita makanan lezat dengan tulus. Apa susahnya menghargainya sejenak dengan diam semenit saja sebagai tanda kalau kita mengapresiasi jasa si koki atau si pembuat masakan.” Ucapan papa terngiang di kepalaku.

Setelah merenung selama semenit, akhirnya aku menyantap mi buatan papa dengan baju tidur masih melekat di tubuh. Panjangnya adonan tepung masuk tanpa putus ke dalam mulut kecilku. Lagi-lagi papa punya prinsip lain soal etika makan, jangan memutuskan atau mengigit wujud mi dari ujung ke ujung agar keberuntungan tidak terputus begitu saja. Pun umur kita dapat sepanjang mi yang tak terputus itu.

La Mian, mi khas Tiongkok ini telah berhasil menghipnotis pagiku. Mi yang dibuat dengan cara memuntir, menarik, membentangkan, dan melipat adonan tepung terigu ini merupakan mi peninggalan turun-temurun. Diperkirakan sudah ada sejak tahun 1504, bahkan ramen dan ramyeon dipercaya terinspirasi dari lezatnya La Mian.

Papa sangat jago membuat adonan mi panjang ini, mau yang tipis atau tebal, papa sudah menguasainya. Kali ini papa membuatkan versi adonan tebalnya. Aroma kuah kaldu ayam bercampur rempah-rempah nusantara dan ayam rica-rica menyatu dengan sempurna, menciptakan cita rasa nomer satu di dunia. Dibuatkan oleh orang terdekat pula. Anak mana yang bisa menolak dibuatkan mi, penuh cinta dari orangtua lagi.

Lihat selengkapnya