13 Mei 1998 Siang, Detik-detik Penjarahan Toko Milik Etnis Tionghoa
Asap mengumpal, tumpah ruah di langit terik Jakarta. Semua murid kelas 1 berhamburan keluar kelas, menyaksikan pemandangan asing.
Kebakaran, kah?
Kecelakaan?
Wajah guru mendadak panik karena asap itu tak begitu jauh jaraknya dari gedung sekolah. Guru-guru menyuruh kami untuk tetap tenang di kelas.
“Anak-anak, hari ini kalian pulang lebih cepat. Sekolah akan mengantarkan kalian ke rumah masing-masing dengan bis. Jadi jangan pulang sendiri.”
Guru berwajah oriental itu tidak menjelaskan secara pasti tentang apa sebenarnya asap yang mengumpal di langit itu. Kenapa kami harus diantarkan oleh sekolah segala. Beberapa rumah dari kami termasuk rumahku sangat berdekatan dengan sekolah, kenapa harus diantarkan?
Tentu saja aku panik. Berkali-kali aku mencemaskan papa di restoran. Bukankah hari ini papa akan kedatangan tamu. Sang koki baru. Meski berkali-kali guru menjelaskan ke kami bahwa semuanya aman terkendali, raut kecemasan di wajahnya tak bisa berbohong. Anak kecil pun pasti tahu, ada sesuatu berbahaya di luar sana. Aku masih belum mengerti, seberapa bahayakah keadaan di luar sana. Yang aku tahu, Indonesia memang sedang mengalami krisis moneter yang cukup parah. Tapi apakah asap itu berkaitan dengan keadaan ekonomi negeri ini? Aku tak tahu pasti. Aku berharap pikiran-pikiran nakal di otakku tidak terjadi. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Aku pun berharap, itu hanya asap kebakaran yang sering terjadi di perumahan atau ruko padat penduduk.
Bis sekolah telah tiba di depan ruko yang juga termasuk rumahku. Aku melihat sekeliling rumah tampak berantakan. Meja, kursi dan perabotan dapur berserakan di lantai. Ada beberapa piring dan gelas pecah. Sisa-sisa kebakaran masih tercium. Api melahap sedikit di bagian dapur.
Aku mencari keberadaan papa. Aku tidak menemuinya. Aku menangis layaknya anak kecil yang ditinggal oleh ayahnya. Aku berjalan keluar. Siapa tahu papa juga sedang mencariku.
Di jalanan gang sempit, seorang bocah menghadangku.
“Dasar, China Komunis! Mana uang jajanmu! Serahkan semuanya padaku,” bentak seorang pemuda. Sepertinya dia adalah murid setingkat SMP.
Aku meresponnya dengan ketakutan. Aku bahkan tidak bisa berkutik di depannya. Mereka ada tiga-melawanku seorang diri, macam preman yang berani-beraninya main keroyokan. Aku bisa apa.
Aku terpojok dengan kata-kata makian dari mereka. Mereka merogoh sakuku dengan paksa lalu mengambil beberapa lembar rupiah berharga milikku.
Di saat itu, datang sesosok gadis kecil, seusiaku. Dia berwajah sawo matang, gadis perantauan Jawa sepertinya.
“Hey kalian! Kita ini hidup di Indonesia. Dia juga sama seperti kalian. Kembalikan uang dia!”
Aku heran, siapa gadis ini. Kenapa dia tidak takut dengan tiga orang yang lebih besar badannya dan lebih tua umurnya.
Gadis kecil ini mengeluarkan garpu bergagang macan. Garpu yang tak begitu tajam itu ditujukan kepada tiga orang di depan. Harusnya tiga orang itu cuek dengan gadis kecil di hadapannya itu. Atau tiga orang itu bisa saja mengambil paksa garpu milik si gadis itu lalu menusuknya meski agak tumpul. Aku pun bisa jadi korban berikutnya.
Entah, siapa si gadis ini sampai tiga bocah di depanku lari kalang kabut. Mereka mengembalikan uang milikku. Lari terbirit-birit kemudian.