i VS D

Wulan Murti
Chapter #2

Nama, Jangan Tertukar

Bab 2

Nama, Jangan Tertukar

“Tatoan sekalian aja kalau gini mah,” ketus Abe.

Inbi melirik dari kursi. Dia masih memegang drawing pen dan buku sket, tapi pertengkaran dua sejoli sungguh mengusik ilham. Berapa kali dia sudah mendesis agar Abe merendahkan suara dan Lulu menutup mulut agar tidak menjawab asal. Sampai kering mulutnya, basah buku sketsanya.

“Pulang dari rumah sakit, kamu harus janji buat introspeksi. Jangan diulangi lagi!” lanjut Abe berkacak pinggang. Lebih galak dari pada pakdhe Kus kalau ada anak kost yang pulang malam nggak ijin.

Inbi menyerah, ditaruhnya alat gambar ke pangkuan. “Diem dong, gaes. Aku pusing dengernya. Apa lagi pasien sebelah sama keluarganya,” ujarnya lirih.

Abe malah mendengus. Dia mirip kuda. “Sorry,” sahutnya kemudian. “Kamu cari makan siang dulu, Bi. Dari kemarin kamu udah jagain Lulu. Giliranku jagain tuan putri nih.”

“Bi, jangan pergi,” cegah Lulu, mengangkat badan dari kasur.

Namun Abe menahannya. “Jangan banyak gerak dulu! Biarin Inbi cari udara segar,” tegasnya. Hanya saja pandangan matanya sudah melunak.

Inbi mengerucutkan bibir. Dua orang ini, batinnya. Tetap saja dimabuk cinta. Dia pun menyetujui saran Abe dan bergegas keluar ruangan.

Berbekal tas sandang dan jaket jins, dia melangkah sambil meregangkan otot. Keluar ruang rawat seperti keluar dari ruang ujian jaman SMA dulu. Apa yang terjadi di dalam, biarlah tetap di dalam.

Kantin rumah sakit tidak seramai kantin kampus di kompleks fakultas. Bisa dibilang tengah lengang. Bukan karena sudah lewat jam makan siang. Kantin kampus mana ada jam makan siang atau bukan. Tapi kan rumah sakit tetap banyak di datangi jam berapa saja, seperti halnya kampus yang dari pagi sampai menjelang malam ramai orang.

Sebab kantin rumah sakit bukan tempat nongkrong.

Di salah satu meja, Inbi menaruh jaket. Dia lalu menuju konter penjual. Es teh dan nasi sayur jadi pesanannya. Tak jauh berbeda dengan kantin bu Ning yang sudah hafal pesanan andalan Inbi, es teh tawar dan nasi pecel telur ceplok.

Merasa damai dan tenang dalam makan siang yang terlambat, Inbi mengeluarkan kembali buku sketsa. Bergantian antara menyendok dan mencoret. Sayang, suasana syahdu itu tidak berlangsung lama. Pengunjung lain datang membawa sedikit keriuhan.

Serombongan dokter. Mereka mengobrol layaknya anak muda. Atau mungkin mereka memang masih muda. Dokter-dokter muda dan pergunjingan medisnya. Inbi mengenali salah satunya sebagai dokter yang subuh kemarin menangani Lulu. Tentu saja Inbi pura-pura tidak ingat. Dia menundukkan kepala dan meneruskan makan.

“Bi!” suara familier terdengar. Dan, itu menyebut namanya. “Bibi,” ulangnya. Panggilan yang hanya satu orang itu yang menggunakan. Jelas bukan memanggil Bibi Leung atau bibi kantin.

Inbi mengangkat kepala, terlihatlah sebuah raut sumringah lelaki tengil. Dia berada di antara rombongan dokter tadi. Luput dari pengamatan mata Inbi. Suatu kesalahan yang cukup fatal. Akibatnya Inbi tidak bisa mengelak atau pun melesat pergi.

“Ngapain kamu di sini?” herannya, ya, sebut saja Malik. Calon dokter.

Inbi mengatupkan bibir. Kepalanya digelengkan. Seakan menampik kemunculan Malik. Harusnya sih tidak terlalu kaget. Di mana lagi pula Malik akan jadi coass kalau bukan di rumah sakit ini.

Malik sudah berpindah duduk di seberang meja Inbi. “Kamu periksa?”

“Hah?” kejut Inbi. Sungguhan terkejut. “Enggak. Bukan. Aku baik-baik saja.” Dia ber-hehehe.

“Syukurlah. Kamu bikin aku kaget aja lho. Kan aku sudah pesan kalau kenapa-kenapa itu ngabari, Bi. Panik aku lihat kamu di sini,” kata Malik dimanis-maniskan.

Inbi membatalkan segala bentuk reaksi mendengus; menghela nafas; mencaci maki. Dia melotot. “Ini kan kantin. Aku lapar ya ke kantin,” ceplosnya.

Malik balas melotot. Dahinya dikerutkan. Saat hendak menyahut, salah satu dokter memanggilnya. Dokter subuh, yang tampak senior. Sebab Malik bergegas menjawab dan mengangkat pantat dari kursi.

“Nanti chat ya. Dokter D kalau marah galak. Bye, Bi. Duh, dokter darmadi emang.” bisiknya lalu kembali ke rombongan.

Batin Inbi hanya mampu meneriakkan kata terserah. Perutnya yang menjerit lebih kencang. Dialihkannya fokus dari rombong petugas medis yang menambahi pusing kepala. Tujuan mengisi perut dan menyegarkan pikiran jadi terusik.

Demi kewarasan jiwa lelahnya, Inbi kembali pada sketsanya. Sesekali sambil menyendok makanan. Tak diacuhkannya orang-orang di sekitar. Sampai entah berapa menit kemudian, ketika isi piring telah tandas, dia mengangkat muka. Kantin sudah sepi kembali.

Diseruputnya minuman. Tangannya yang belepotan diusapkan ke embun gelas. Puas dipandangi sketsa sebuah ruangan yang mulai tampak. Kepalanya pun jadi lebih ringan. Dia pun beranjak pergi dari kantin.

“Mbak,” panggil suara lirih. Teramat lirih sampai Inbi harus berhenti bernafas. Kakinya turut berhenti melangkah.

Punggungnya mendingin bagai dihembus angin subuh musim kemarau. Dia bergidik.

“Mbak,” ulang suara, yang setelah dipikir-pikir adalah milik seorang lelaki. Sedikit lebih keras dari panggilan pertama.

Dengan dorongan rasa ingin lari, Inbi menoleh. Dia melompat ke belakang, menabrak dinding. Reflek meraih railing stainless dengan kaki terserimpet.

“Kenapa?” heran lelaki berjas putih, pak dokter.

Lihat selengkapnya