Keenan akhirnya diam, pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Langkah demi langkah membuat Jeje, cewek yang memanggil Keenan semakin dekat dengan ketiganya. Berbeda dengan Alan dan Satya yang menahan senyum, Keenan justru merasa panas dingin sekarang.
Fix gue sakit sekarang.
Keenan memejamkan matanya erat, seolah takut menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Sampai akhirnya panas menjalar dari telinga kanannya membuat Keenan seketika membuka matanya lebar dan berteriak kesakitan.
"Gila lu Je, lepas heh! Sakit ini! Ya ampun Jeje, tega Lo sama gue?!" ringis Keenan menjoba melepaskan diri dari jeweran pedas Jean.
Jean, atau yang sering dipanggil Jeje merupakan sahabat kecil Keenan. Orang tua mereka berteman baik, membuat mereka sering bertemu dan secara otomatis mereka pun berteman dengan baik.
Keenan yang lebih banyak diam dan Jeje yang terkenal cerewet membuat mereka cocok jika disatukan.
"Salah sendiri lo ngilang selama sebulan! Ngapain aja hah?! Lo gak tau apa gue khawatir parah sama lo?!" sewot Jeje sambil memutar telinga Keenan lalu menariknya kuat.
"Aduh Je, beli telinga tuh mahal Je. Kalau telinga gue copot gimana? Jeje?! Lo denger gue kan?!" ucap Keenan.
Jeje yang masih punya hati akhirnya melepaskan jewerannya. Dan terpampang lah hasil karya Jean. Telinga merah Keenan dipadukan dengan wajah kesal cowok itu membuat Jean tersenyum puas.
"Rasain! Itu hukumannya udah bikin gue khawatir!" ujar Jean.
Keenan menatap Jean sebal, kemudian beralih pada kedua sahabatnya yang hanya diam, asyik menonton tingkah Jean dan dirinya.
"Heh! laknat ya lo pada! Bukannya bantuin gue, malah nonton doang!" omel Keenan pada Alan dan Satya.
Alan dan Satya secara bersamaan mengangkat kedua tangannya, kode dari mereka bahwa tidak ingin ikut campur dalam masalah keduanya.
"Gak bisa diandelin emang." sungut Keenan lalu melanjutkan langkahnya untuk segera pergi dari Cafe.
"Heh mau kemana lo?! Gue belum selesai ya Nan!" teriak Jeje yang segera menyusul cowok itu.
***
Akhirnya Keenan bisa tancap gas meninggalkan Cafe. Namun satu masalah besar sedang duduk di jok belakang motornya, siapa lagi kalau bukan Jeje.
"Eh ini mau kemana Nan?" tanya Jean.
"Gak tau." jawab Keenan datar, mengundang kerutan halus bersarang di dahi Jeje.
"Lah lu yang bawa motor, masa gak tau." ujar Jeje berkomentar.
"Lu yang numpang bisa tutup mulut gak? Panas telinga gue!" seru Keenan kesal.
Seolah tak peduli, Jeje malah terus berbicara. Mulai dari kehidupannya selama sebulan di Jepang, bagaimana orang-orang nya, bagaimana kebiasaannya sampai hal-hal yang tidak penting pun Jeje ceritakan pada Keenan. Seolah cowok itu adalah diary bernyawa miliknya.
Satu jam sudah keduanya hanya berputar mengelilingi kota, dan sudah satu jam pula mulut Jeje terus berbicara pada Keenan. Walau hanya dijawab deheman singkat atau malah tak dihiraukan oleh Keenan, Jeje tak peduli. Seakan mulutnya itu mendapat tenaga ekstra jika berbicara dengan Keenan, tak mengenal lelah.
"Ini dimana?" tanya Jeje pada Keenan.
"Gak usah berlaga amnesia deh!" sungut Keenan.