Sejak tadi ponselnya bergetar, bergantian menampilkan notifikasi pesan dan panggilan dari orang yang sama. Tak kurang dari lima belas pesan dan enam panggilan telah masuk, semua tak digubris. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa sadar membuat kamar indekos seukuran tiga kali tiga meter yang disewanya sejak empat tahun lalu menjadi lebih pengap dari biasanya. Napasnya satu-satu, sesak bukan main.
Rupanya, embusan itu telah pula menakuti dua cecak di pojokkan yang hendak bercinta. Dua cecak itu sebenarnya cukup akrab dengan situasi tersebut. Hanya saja, napas yang keduanya kali ini dengar cukup aneh dan sangat mengganggu jika dijadikan musik latar untuk mereka kawin. Bunyi itu jelas lebih cocok untuk mengiringi kematian.
Cukup beralasan sebenarnya mengapa dua cecak tersebut merasa begitu, tokoh kita sejak tadi tidak bergerak. Pandangannya menengadah ke langit-langit, memandang bohlam yang padam. Dia mencoba mengatur napas, sulit. Dia selalu teringat perkataan yang baru saja didapat dari papa Nali.
“Om lihat-lihat hubungan kalian begini-begini saja. Mau dibawa ke mana sebenarnya?” Tanya lelaki awal lima puluhan itu. “Soe, Natali itu anak kami satu-satunya. Selain sendiri, Om sudah enggak muda lagi. Pengin juga gendong cucu. Kalau kamu masih mau main-main, mending tinggal sajalah Natali. Kasihan dia makin tua, perempuan enggak baik lama-lama lajang.
“Memang, Om ini bukan dari generasi kolot. Om tahu banyak anak zaman sekarang yang baru kawin di atas kepala tiga umurnya. Tapi tetap saja, Om khawatir,” katanya lagi sambil memandang lekat lawan bicaranya.
Yang ditatap diam seribu bahasa, dia hanya merasa lelaki paruh baya itu menelisiknya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pandangan itu kerap dia dapati ketika bertemu, dan itu pula yang bikin dia rendah diri ketika harus menjemput Nali ke rumahnya.
Jika bukan karena Nali yang memaksanya untuk mampir karena hujan, mungkin mereka tidak akan bertemu, mungkin perkataan itu bisa ditunda untuk didengar sampai beberapa minggu atau bulan atau tahun, selama dia bisa menghindar untuk mampir. Tapi apa boleh buat, takdir menuliskannya begini. Hanya yang jadi masalah adalah, tokoh kita yang dipanggil Soe ini kesulitan menyembunyikan perasaannya. Bahkan ketika Nali datang ke beranda sambil membawa cangkir berisi teh panas, dan papanya beranjak setelahnya.
“Kenapa Soe?”
Soe menggeleng, “Enggak apa-apa.”
Namun Nali jelas tak percaya, dia memandang kepergian laki-laki bercelana pendek berwarna gading itu ke dalam rumah. “Papa bilang apa?”
Sekali lagi Soe menggeleng.
Nali menarik napas, dia kemudian beranjak duduk ke sebelah Soe, memegang tangan dingin lelaki itu. “Enggak usah didengerin, ya.”
Soe menggeleng. Detik kemudian dia bingung mengapa dirinya menggeleng. Untuk apa dia menggeleng? Mengiakan ucapan Nali? Atau sebenarnya dia hendak bilang, Enggak, kamu salah. Tentu aku harus mendengarkan papamu!
Iya, sepanjang pulang Soe sulit keluar dari perkataan papa Nali. Sudah hampir lima tahun sejak hubungan dirinya dan gadis itu dimulai, sampai sekarang tak jelas muaranya ke mana. Soe tentu mewajarkan pertanyaan orang tua satu-satunya yang kini dimiliki Nali tersebut. Yang menurutnya tidak wajar justru usahanya untuk merengkuh masa depan bersama Nali selama ini tak maju-maju.
“Mau dibawa ke mana sebenarnya?”
“Mau dibawa ke mana sebenarnya?”
“Mau dibawa ke mana sebenarnya?”
“Mau kubawa ke mana sebenarnya?”
Soe menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia mencoba sekali lagi mengatur diri. Namun gagal. Soe kembali tersedot dalam bayangannya. Bukan, dia tidak kembali ke beberapa jam lalu, saat pulang dari kediaman Nali, dan hujan tiba-tiba turun, lalu dia berbelok halaman sebuah minimarket yang masih buka. Soe kini berada di sebuah lorong gelap, matanya mencari-cari cahaya, tidak ada. Soe hanya mendengar sedikit desis di telinganya, yang jika dia fokus makin kentara suara itu milik siapa dan bicara apa. Pandangannya tak lagi menghitam, sedikit demi sedikit adegan hitam putih bermunculan, dan bergantian berhenti di hadapannya.