Soe dibangunkan ponselnya yang meraung-raung. Tanpa mengubah posisi, Dia mencoba meraih benda yang tergeletak di lantai itu. Lelaki berkulit bersih itu terperanjat, saat tahu angka yang tertera di layar sudah lebih dari pukul sepuluh. Dia melompat dari kasur menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Di sela aktivitasnya menggosok gigi, Soe menemukan banyak notifikasi. Namun prioritasnya adalah mengabarkan rekan kerjanya jika dia telat hari ini, dan akan segera berangkat. Sementara deretan pesan dan pemberitahuan panggilan tak terjawab dari Nali sama sekali tidak dia gubris. Soe merasa dirinya masih perlu waktu. Memang, semalam, bunyi meteran listrik berhasil menyelamatkannya dari sebuah aksi bunuh diri. Namun, pertanyaan-pertanyaan mengenai hidupnya masihlah sama, dan belum mampu dia jawab—bahkan jika hanya untuk dibayangkan.
Setelah berpakaian, Soe menyempatkan untuk mengoles selai kacang di selembar roti, lalu memakannya. Jika bukan karena semalam isi lambungnya habis dimuntahkan, Soe akan melewatkan sarapan. Apalagi dia sudah telat lebih dari dua puluh menit dari jadwal kerja. Soe lekas menyambar baju hangat yang menggantung, lalu bergegas pergi.
Pemuda bernama lengkap Soe Paldi Tjandra itu bekerja di salah satu gerai dari sebuah jaringan kedai minuman teh susu mutiara asal Taiwan. Masa kerjanya belum genap satu tahun, dan posisinya adalah staf barista. Sebelum bekerja di sana Soe pernah beberapa kali kerja di tempat lain, dengan posisi berbeda pula.
Soe kecil sebenarnya ingin menjadi pembawa berita, tetapi papanya pengin dia jadi pengusaha sukses. “Kamu harus sekolah tinggi, Soe. Bawa usaha keluarga ini lebih sukses. Kalau perlu, kamu kuliah di Australi,” kata papanya kala itu.
Kini, lebih dari dua puluh tahun berlalu, lelaki tersebut sudah terbaring di pemakaman. Dia tak pernah sempat menyekolahkan Soe sampai Australia, atau bahkan di perguruan tinggi dalam negeri. Dia juga tidak bisa melihat anaknya menjadi pengusaha sukses seperti apa yang dia cita-citakan, atau menjadi pembawa berita seperti yang Soe impikan. Pada akhirnya, dua keinginan itu hanya angan mereka belaka, faktanya jauh panggang dari api.
Lulus SMA, Soe melamar kerja ke berbagai tempat. Setelah ditolak beberapa kali, sebuah pabrik merekrutnya sebagai staf administrasi, setahun bekerja, Soe berhenti karena gajinya tak seberapa. Kemudian dia melamar kerja lagi, kali ini sebuah perusahaan marketing merekrutnya sebagai SPB yang ditugaskan untuk menawarkan kartu kredit di pusat perbelanjaan. Sering tak memenuhi target membuat Soe kerap dimarahi, tidak lama kemudian dia berhenti. Tak butuh waktu banyak, Soe mulai bekerja lagi di sebuah gerai ponsel di pusat perbelanjaan yang sama. Namun, Soe kembali terpaksa berhenti setelah dua tahun bekerja karena pengunjung mal yang makin sepi dan berimbas pada pendapatan toko yang dia jaga.
Untuk dapat pekerjaan berikutnya, Soe menunggu cukup lama kali ini, hampir tujuh bulan. Dia sempat gelisah karena mamanya pun kerepotan dengan biaya keperluan rumah ditambah dua adiknya masih bersekolah. Setelah menunggu, Soe diterima oleh perusahaan operator seluler sebagai customer service. Dua kali perpanjang kontrak, Soe terpaksa meninggalkan pekerjaannya di layanan pelanggan tersebut.
Sebenarnya Soe kembali dapat pekerjaan serupa tak lama setelah itu. Mantan atasannya yang merekomendasikan Soe pada perusahaan keuangan. Namun setelah masa percobaan selama dua bulan, Soe memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai penagih utang lewat panggilan telepon itu. Memang, tugasnya untuk menagih utang, tetapi atasannya menuntutnya untuk dapat mengejar target, meski menagihnya dengan cara-cara yang kurang mengenakkan. Soe tidak sanggup, dia kemudian mencari pekerjaan lain.
Saat itu sedang menjamur kedai kopi dan teh kekinian di Jabodetabek yang butuh banyak pekerja, karena hampir setiap bulan selalu punya gerai baru. Soe melamar ke beberapa tempat, kemudian yang menerima dan memanggilnya wawancara kerja lebih dulu adalah perusahaan tempat kerjanya sekarang. Setelah melewati tahapan wawancara dan pelatihan, Soe diterima bekerja dan ditugaskan di Jakarta.
—
Jarak antar kos tempat dirinya tinggal dan gerai tempatnya bekerja tak sampai satu setengah kilo, tapi hari ini mau tidak mau dia harus mengendarai motornya agar lebih cepat sampai. Ya, Soe sering memilih jalan kaki untuk sampai mal itu agar menghemat biaya parkir. Dirinya hidup hemat begitu bukan tanpa alasan, pengeluaran rumah sampai biaya sekolah adiknya harus dirinya yang menanggung. Kadang Soe iri dengan pencapaian orang seusia atau di bawahnya yang lebih bisa menikmati sendiri hasil jerih payahnya bekerja bertahun-tahun; jalan-jalan ke luar kota bahkan ke luar negeri; memiliki barang bermerek; atau bahkan membeli hunian sendiri dan membina keluarga kecil di dalamnya.
Soe tertawa getir membayangkan nasibnya, seketika ucapan papa Nali kembali memasuki pikirannya. Soe berusaha mengenyahkan perkataan itu, tidak bisa. Pertanyaan itu… jelas butuh waktu lama untuk bisa dia temukan jawabannya. Tidak tiba-tiba hadir saat dia sedang berkendara, atau sedang melayani pelanggan, atau sedang beristirahat makan, atau saat kembali bekerja, lalu pulang, lalu pergi tidur, dan esoknya kembali lagi begitu.
Setelah memarkir motornya, Soe setengah berlari ke dalam area mal. Gerai teh susu tempatnya bekerja ada di lantai dasar, di sisi timur mal.